[1] Adapun hadits pertama yang ia sebutkan adalah hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhubahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
“Apabila dua orang berhukum kepadamu, maka janganlah engkau memberi keputusan kepada yang pertama hingga kamu mendengar apa kata yang lain, sehingga kamu tahu bagaimana kamu berhukum” ‘Ali berkata: Setelah itu aku senantiasa menjadi hakim.
Hadits ini adalah hadits Dhoif, dia punya dua sanad: dalam salah satu sanadnya ada Hansy bin Al-Mu’tamir dan dia itu Dhoif terutama riwayatnya dari ‘Ali, ibnu ‘Adiy telah mendatangkan haditsnya di kumpulan hadits-haditnya yang mungkar di “Al-Kamil” (2/844), jalan kedua terdapat Asbath bin Nashr dan dia itu Dhaif, terutama riwayatnya dari Simak sementara di sini ia meriwayatkannya dari Simak.
Adapun hadits kedua adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار
“Sesungguhnya kalian bertikai dan meminta hukum kepadaku, maka barangkali sebagian kalian lebih fasih mengungkapkan hujjahnya dari sebagian lainnya sehingga aku memutuskan kemenangan untuknya karena kefasihannya maka barangsiapa yang aku putuskan kemenangan untuknya padahal itu adalah hak saudaranya maka sesungguhnya aku hanyalah memberinya potongan dari neraka.” Dan hadits inimuttafaqun ‘alaihi, tapi tidak ada padanya pendalilan yang menunjukkan wajibnya yang disangkakan, dan tidak ada padanya pendalilan yang menunjukkan bahwasanya tata cara berhukum diterapkan di medan jarh wat ta’dil!! lihatlah apa yang akan datang di atas.
atau vonis hizbiyyah ataupun pembid’ahan kecuali apabila vonis tersebut adalah keputusan ulama yang sudah menjadi rujukan, dan terkemuka, karena manakala fulan dan fulan bertikai mesti ada yang menjadi hakim, mesti ada pihak ketiga (!!), yaitu yang menjelaskan kwantitas kesalahan dan siapa yang benar dan siapa yang salah, demikian juga kesalahan tersebut sampai ke tingkat apa pelakunya, apakah menunjukkan kehizbiyahannya ataukah tidak sampai ke taraf tersebut, dari kesalahan-kesalahan ada yang tidak seorangpun yang lepas darinya.)!!
Kemudian dia menganggap itu adalah kesimpulan salaf dan orang yang datang setelah mereka!!! Dan upayanya mewajibkan tata cara ini di medan jarh wat ta’dil! amat sangat jauh dari penetapan kaidah dan pengesahan!! Serta jauh dari manhaj salafush shalih radhiyallahu ‘anhum! Dengan beberapa alasan:
1 Sudah diketahui bersama bahwa di sana ada beberapa perbedaan antara syahadah dan riwayah, dan bab al-qodho (hukum) berkaitan dengan yang pertama (syahadah) dan bab jarh wat ta’dil berkaitan dengan yang kedua (riwayah).
Dan yang paling bagus menyimpulkan perbedaan-perbedaan antara keduanya adalah Al-Marwazi di “Syarh Al-Burhan”, kalamnya tersebut di nukil dan di benarkan oleh Al-Qorofi rahimahullah di kitabnya yang bagus “Al-Furuq” (1/hal.79 dan setelahnya) cet. Darus Salam, ia berkata pada perbedaan pertama: (Syahadah dan riwayah kedua-duanya khabar, hanya saja apabila yang dikabarkan tentangnya adalah perkara umum bukan perkara yang khusus menyangkut sesuatu maka dia adalah riwayah, seperti kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((إنما الأعمال بالنيات))
“Amalan-amalan itu tergantung niatnya” dan hak syuf’ah (hak membeli lebih dahulu) pada barang yang tidak terbagi bukan milik pribadi orang tertentu bahkan hal itu hak seluruh makhluk di segenap jaman dan tempat, berbeda dengan ucapan seorang adil di depan hakim ini punya hak di sisi ini satu dinar, ini adalah keharusan kepada individu tertentu tidak melampauinya kepada selainnya, inilah syahadah murni, dan yang pertama adalah riwayah murni, kemudian berkumpul setelahnya (beberapa kesamaan -pent) dan sisi kesesuaian antara syahadah dengan disyaratkannya jumlah ketika itu juga dan syarat-syarat yang lain adalah bahwa pengharusan kepada suatu individu tertentu disangkakan padanya permusuhan batin yang tidak diketahui oleh hakim yang mendorong seorang musuh untuk mengharuskan lawannya sesuatu yang tidak harus atasnya.
Makanya syari’at mengambil tindakan pencegahan dari itu dan mensyaratkan dengannya saksi lain untuk mencegah kemungkinan ini…-kemudian ia menjelaskan sisi kesesuaian disyaratkannya jumlah dalam syahadah dan tidak disyaratkan pada riwayah, dan syarat jenis kelamin, orang merdeka ataukah budak berbeda dengan riwayah..sampai ke ucapannya:-ketika itulah kita katakan khabar itu terbagi menjadi tiga bagian: 1- riwayah murni seperti hadits-hadits Nabi 2- syahadah murni seperti kabar para saksi tentang hak-hak orang-orang tertentu di depan hakim 3- bercampur antara syahadah dan riwayah).-selesai-
Kukatakan: Apabila engkau mencermati permasalahan jarh wat ta’dil niscaya engkau akan dapati definisi riwayah berlaku di medan ini, di mana jarh wat ta’dil itu berkaitan dengan perkara umum bukan perkara khusus, karena jarh terhadap perawi dan ta’dilnya itu berkaitan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syari’at, begitu pula jarh terhadap ahlul bida’ dan ahwa serta ahlul fitan juga kaitannya umum dari segi mudharat-mudharat yang timbul dari dari mereka terhadap agama dan masyarakat…
Imam ibnu Rajab rahimahullah di “Syarh ‘ilalut Tirmidzi” pada kalam beliau terhadap jarh wat ta’dil: (Karena menyebutkan aib seseorang kalau itu demi kemaslahatan meskipun kemaslahatannya hanya terhadap individu, seperti mencela dan menolak persaksian orang yang bersaksi dengan persaksian palsu itu boleh tanpa diperselisihkan, terlebih lagi kalau penyebutan aib tadi demi kemaslahatan umum kaum muslimin, telah meriwayatkan ibnu Abi Hatim dengan sanadnya dari Bahz bin Asad, ia berkata: ((seandainya seseorang punya hak sekian dirham atas orang lain kemudian orang tersebut mengingkari haknya, dia bisa mengambil haknya dengan mendatangkan dua saksi yang adil, maka agama Allah itu lebih berhak di ambil dari jalan orang-orang yang adil)).-selesai-
Demikianlah dari segi tidak disyaratkannya jumlah dan dicukupkan dengan satu dalam jarh wat ta’dil, juga tidak disyaratkan (pembawa kabar) laki-laki dan merdeka…dan seterusnya.
Berbeda dengan Al-Qodho’ (hukum) ia masuk dalam bab syahadah, ada padanya percekcokan, mesti jumlah saksi lebih dari satu, dan tidak dicukupkan dengan satu saksi saja, dan kaitannya terhadap pribadi tidak umum…dan sebagainya, dan ini jelas tidak perlu uraian panjang lebar.
Jadi jauh sekali antara kedua bab, dengan ini jelaslah kesalahan kaidah yang dibuat oleh Syaikh Muhammad Al-Imam waffaqohullah serta upayanya memasukkan jarh wat ta’dil ke dalam medan hukum!!
2- Para imam jarh wat ta’dil sejak salafus shalih kita terdahulu sampai sekarang, kitab-kitab mereka dipenuhi dengan jarh terhadap para perawi hadits dan ahlul bida’, dengan ketentuan dan kaidah ilmu ini, dan tidak pernah mereka mengadakantahakum (mengadakan majlis pengadilan) antara Syu’bah dengan orang-orang yang ia jarh, tidak pula antara ibnu Ma’in, Al-Qoththon dan Ahmad…dengan orang-orang yang mereka jarh!!
Engkau dapati salah seorang dari mereka berkata: Fulan kadzdzab (pendusta), atau mencuru hadits, atau kacau hafalannya…atau menjelaskan bid’ah yang dilakukan para ahli bid’ah, penyimpanngan orang-orang yang menyimpang yang mereka itu menebar kerusakan terhadap manhaj salaf dan menyiarkan pemikiran-pemikiran busuk mereka serta golongan-golongan dan sekte-sekte mereka, hingga para imam berkata: fulan mu’tazilah atau khawarij atau qodari….
Apakah para imam dahulunya berkata: kalian mesti mengadakan majlis pengadilan dengan orang-orang yang kalian jarh!! Dan mesti kita dengar dari kedua belah pihak, dan harus ada hakim, mesti ada pihak ketiga!! yaitu yang menjelaskan kwantitas kesalahan dan siapa yang benar dan siapa yang salah! Senagaimana yang diserukan oleh Syaikh Muhammad Al-Imam –Ashlahahullah-!!kebatilan ini jelas dan nyata!!
Syaikh Al-Imam telah didahului oleh tukang buat-buat kaidah palsu ‘Adnan ‘Ar’ur pada kaidah ini, di mana ‘Adnan dulu juga menetapkan kaidah tersebut, dan menuntut Syaikh Rabi majlis pengadilan karena telah menjarh dirinya.
Maka Syaikh Rabi’ hafidzahullah menjawab dan menjelaskan kebatilan kaidah ini, dan kami menjadikan jawaban beliau sebagai jawaban terhadap kaidah Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- karena semuanya keluar dari satu mata air!!
Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata di “daf’ Bagyi ‘Adnan ‘ala ‘Ulama’ As Sunnah wal Iman” sebagaimana di “Majmu’ Al-Kutub wa Ar-Rasail wa Al-Fatawa” (11/218): “Saya tidaklah menolak untuk berhukum –wal ‘iyadzu billah- kepada allah dan RasulNya, hanya saja dia (‘Adnan) menuntut untuk berhukum kepada orang-orang (tertentu), dan saya meyakini bahwa kebenaran bersamaku lalu saya mengalah darinya, dan dari hakku dan hak manhaj salafi, dari hak-hak salafiyyah serta dari usikan, celaan, dan cercaannya, saya tidak menginginkan melainkan menyelesaikan fitnah ini dengan menyepakati ulama dan saya tidaklah pingin mencela nasabnya ini adalah dusta,apakah pantas bagi seseorang yang kebenaran bersamanya kemudian pergi ke pengadilan sementara haknya jelas, apabila haknya telah jelas selesai perkaranya, jadi hakku jelas inilah yang mendorongku untuk tidak menyambut seruannya untuk mengadakan majlis pengadilan dengan fulan dan fulan dan inilah yang rajih di sisiku, adapun kalau dia (ngaku) bahwa dia mengajakku untuk berhukum kepada Allah dan kitabNya pada haknya dia maka ini tidaklah ada, ini adalah dusta).
Dan berkata Syaikh Rabi’ hafidzahullah pada sumber tadi (11/175): (Adapun yang berkaitan dengan tuntutan untuk berhukum di depan ibnu ‘utsaimint, ia meminta ini dari beliau dan membesar-besarkan perkara dengan sangat di depan beliau dan menampakkan diri bahwa dia di zalimi oleh Rabi’ dan..dan.. seterusnya, kemudian ibnu ‘Utsaimint menelponku dan menawariku untuk mengadakan majlis pengadilan, maka akupun meyakinkan beliau bahwasanya perkara ini tidak perlu di adakan majlis pengadilan karenanya, karena orang ini membela ahlul bida’ dan menetapkan kaidah-kaidah bid’iyyah yang rusak, dan melakukan, dan melakukan, dan melakukan, kemudian apakah anda bersedia untuk mempelajari semua yang telah terjadi antara aku dan ‘Adnan di dalam kitab-kitab dan kaset-kaset, beliau jawab: tidak, saya tidak punya kesiapan, kukatakan: kalau begitu yang pertama kali yang anda mesti ketahui adalah bahwasanya orang semacam ini tidak perlu di adakan majlis pengadilan dan tidak pula di sambut seruannya ini, karena dia itulah pelaku kebatilan dan dialah penjahat terhadap manhaj salaf dan dia demikian, demikian dan demikian, jadi menurut saya hendaknya anda menasihatinya supaya bertaubat kepada Allah dan kembali, ibnu ‘Utsaimin pun ridha dengan ini, dan beliau sampai sekarang masih hidup tanyalah ia).
Kukatakan: dan demikianlah –demi dzat yang tiada sesembahan yang berhak di sembah selainNya- jawaban Syaikh Yahya hafidzahullah kepada para masyayikh, bahwasanya ‘Abdurrahman Al-’Adni maftun dan bergerak dengan gencar membuat perpecahan dan hizbiyyah, ia telah menzalimi kami dan dakwah, dan saya nasihatkan kalian, daripada kalian menjadikan diri-diri kalian sebagai hakim terhadap saya sementara saya telah menjelaskan fitnahnya, mending kalian menasihatinya supaya bertaubat kepada Allah ta’ala dari fitnahnya!-selesai-
Inilah Syaikh ibnu ‘Utsaimint rahimahullah menerima nasihat Syaikh Rabi’ untuk itu, mengapa beliau rahimahullah tidak menjadi panutan pada sikap tersebut di sisi masyayikh hafidzahumullah?!
Dan di antara yang Syaikh Yahya katakan di “Mujmalut Taqwim wa Ash-Shiyanah”: (Adapun perkara kita ini, adalah perkara yang lebih ringan dari ini semua kalau saja lepas dari hasrat penyebar luasannya terhadap kami di sebabkan tujuan-tujuan dan dorongan-dorongan tertentu, Allah tidaklah lalai dari semua itu, maka tidaklah perlu dengan kemerosotan dan pembesar-besaran semacam ini, perkaranya adalah sebagian murid kami melakukan demikian dan demikian dan tahazzub, kalau mereka ruju’ kalau tidak Allah akan ganti, dan sungguh Allah telah ganti dengan yang lebih baik dari mereka walillahil hamd.
Dan sebaik-baik yang di tempuh oleh siapa yang menginginkan kebaikan bagi dirinya pribadi dan bagi mereka pada permasalan ini adalah anjuran kepada mereka untuk bertaubat dan kembali kepada jalur yang benar, tidak perlu kalian capek-capek membela kesalahan-kesalahan mereka dan kesalahan selain mereka bersamaan sekaligus, dan menyemangati mereka berlarut-larut dalam kebatilan, ini adalah cara yang salah dari pangkalnya sampai ujungnya walaupun kelihatan bagus di hadaoan kalian yang kalian namai (..tawaqquf..) atau (..upaya mendamaikan) karena ini sungguh akan memudharatkan si pembela dari kebatilan dan siapa yang dibela, karena al-haq itu amatlah kuat untuk tunduk hanya sekedar unjuk gigi (banyak-banyakan -pent) tanpa di barengi dengan burhan.
Inilah yang benar di sisi orang yang telah mengenal keagungan al-haq, dan menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya, dengan pemahaman fiqh yang di ambil dari perkataan Allah ta’ala:
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا [الأنعام/164]
“Tidaklah suatu jiwa berbuat (dosa) melainkan (kemudharatannya) kembali kepada dirinya sendiri.” [Al-An'am: 164]. Dan perkataanNya:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى [الأنعام/164]
“pelaku dosa tidak akan memikul dosa selain dosanya” [Al-An'am: 164].
3- Seruan Syaikh Muhammad Al-Imam bahwa usul yang wajib: adalah seorang hakim atau penengah mesti mendengar dari kedua belah pihak sebelum berhukum! Dan di antara yang membuntuti usul ini adalah bahwasanya tidak boleh menghukumi orang ghaib (tidak ada): yang benar perkara itu tidak benar secara mutlak! Sebagaimana yang akan datang, dan parahnya lagi penerapannya terhadap jarh para ahli jarh wat ta’dil!! serta menjadikannya jalan bagi mereka dan usul yang mesti di tempuh!!! Telah lewat bahwasanya itu tidaklah terwujud dalam manhaj ahli jarh wat ta’dil, dan mereka menerima khabar satu orang yang adil dari mereka sebagai pengamalan terhadap dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya menerima khabar orang tsiqoh (terpercaya).
Para imam telah mentanshih: Al-Khathib Al-Baghdadi di (Al-Kifayah), ibnu Sholah di (Al-Muqaddimah), An-Nawawi di (At-Taqrib), ibnu Katsir di (Ikhtishar ‘Ulumul Hadits) dan selain mereka, bahwasanya tidak disyaratkan dalam menerima suatu jarh (kritikan) mesti berjumlah lebih dari satu penjarh (pengkritik). Berbeda dengan majlis hukum dan pengadilan, tidak cukup dengan satu saksi sebagaimana yang telah lewat.
Ibnu Sholah telah menjelaskannya dengan ucapannya: (karena jumlah tidaklah di syaratkan dalam menerima khabar maka tidak pula disyaratkan dalam jarh seorang perawi dan ta’dilnya (rekomendasi) berbeda dengan persaksian)(ma’rifah Anwa’ ‘Ulumul Hadits) hal.220.
Syaikh Al-Imam telah didahului kepada pengadaan usul Al-’Ur’ury ini olehMuhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi hadahullah di mana dia berkata dalam kaset “Ahammiyyah Iltifaf haulal ‘Ulama” tanggal 13/12/1428:
(dan barangsiapa yang punya tuduhan/pengakuan tidak mengapa ia paparkan kepada ulama, kemudian mereka akan melihat dengan kaca mata inshaf, kemudian menghukumi dengan apa yang mendekatkan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan ini akan selesai masalah, adapun seseorang menuduh kemudian dia juga yang berhukum(!!)…yaitu maknanya dia yang menuduh dan dia juga hakimnya(!!)…maknanya bahwasanya kamu si penuduh dan kamu yang menghukumi, ini tidak benar cukup kamu jadi penuduh saja, adapun berhukum bukan kamu! Yang berhukum adalah ulama (!!) wajib bagi kita semua mengajari manusia bagaimana mempelajari kitab dan sunnah?! Dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan mereka?! Jangan sampai kesalahan dari kita kita mendakwahkan kemudian kita sendiri berselisih dengan ucapan-ucapan kita demikian juga amalan-amalan kita, bagaimana mereka memutuskan keputusan hukum di antara manusia? Bagaimana mereka berhukum di antara manusia?)-selesai-
Dulu tukang bikin kaidah-kaidah batil ‘Adnan ‘Ur’ur menetapkan hal tersebut dalam bantahan batilnya terhadap Syaikh Rabi’ hafidzahullah, kemudian beliau menjawab dan menjelaskan kebatilan usul tersebut, dan kami juga menjadikan jawaban beliau sebagai jawaban terhadap usul Syaikh Muhammad Al-Imam waffaqohullah!
Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata: di “Daf’ Bagyi ‘Adnan ‘ala ‘Ulama As-Sunnah wa Al-Iman” sebagaimana di “Majmu’ Al-Kutub wa Ar-Rasail wa Al-Fatawa” (11/130-132): (Sungguh kami sangat terheran-heran dengan campur aduk orang ini pada kalamnya terhadap ulama…dan yang lebih mengherankan lagi bahwasanya dia mencampur adukkan antara hukum dan fatwa, kadangkala dia menganggap jawaban-jawaban mereka termasuk fatwa, dan kadangkala dia menganggapnya bagian dari hukum dan ini adalah pencampur adukan yang aneh dan asal-asalan yang darinya…
Intinya bisa dipahami dari ucapannya dalam hukum: bahwasanya tidak boleh berhukum terhadap orang yang tidak hadir di setiap keadaan
Dan ini adalah kalam batill, karena ada banyak keadaan boleh ketika itu berhukum terhadap orang yang tidak hadir dan tidak disyaratkan kehadirannya, dan tidak mesti seorang hakim mendengar dari kedua belah pihak, dan ini adalah perkara yang tetap, dalilnya adalah: Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Abu Sufyan adalah seorang pria yang kikir ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anakku, (bolehkah) aku mengambil (sendiri) dari hartanya (tanpa sepengetahuannya)? Beliau menjawab: ambil dari hartanya apa yang mencukupimu dan anakmu.
Beliau tidak berkata: Mana Abu Sufyan? Mana dia datangkan ia kepadaku supaya dia bisa mendengar ucapan ini, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemutuskan hukuman terhadapnya sementara dia tidak hadir, dan membolehkan perempuan tadi istri Abu Sufyan untuk mengambil sebagian dari hartanya meskipun ia tidak ridha, dan ini adalah hukum terhadap orang yang ghaib.
Dalam madzhab-madzhab: Madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik dan selain mereka dari para ulama: Bahwasanya dalam hak-hak para hamba dan pada mu’amalah boleh berhukum terhadap orang ghaib.
Kali ini aku mendatangkan ucapan Al-Bukhari:
- Beliau berkata: ((Bab. Hukum Terhadap Orang Ghaib)) kemudian meriwayatkan dengan isnadnya dari jalan ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Bahwasanya hindun berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Abu Sufyan adalah orang kikir hingga saya butuh mengambil dari hartanya (tanpa izinnya), maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu menurut kebiasaan)
Jadi Imam Bukhari berpendapat bolehnya berhukum terhadap orang ghaib.
- Berkata Al-Hafidz di “Al-Fath” di juz 13 hal. 171: (ucapannya: terhadap orang ghaib): yakni pada hak-hak bani adam selain Allah menurut kesepakatan meskipun telah tegak bukti nyata terhadap orang ghaib bahwasanya dia mencuri misalkan, dihukumi dengan (mengembalikan) harta tanpa potong tangan.
Ibnu Baththol berkata: Malik, Laits, Syafi’i, Abu ‘Ubaid dan sekelompok ulama, mebolehkan berhukum terhadap orang ghaib.
- Dan berkata ibnu ‘Abdil Barr di “Al-Kafiy” (juz 2 hal. 931): “Bab. Kumpulan Hukum Terhadap Pengakuan”: Seorang hakim berhukum terhadap orang ghaib pada seluruh hak-hak, mu’amalah, utang piutang dan seluruh hak kecuali pada permasalahan barang tak bergerak maka tidak di putuskan hukum manakala ia ghaib kecuali dia ghaib terlalu lama dan memudharatkan lawan debatnya, maka ketika itu diputuskan atasnya, inilah kesimpulan madzhab Malik.
Dan kalau boleh berhukum terhadap orang yang telah meninggal tentu berhukum terhadap orang ghaib lebih boleh lagi.
- Demikian boleh berhukum terhadap orang ghaib menurut madzhab Ahmad, lihat “Al-Mughni juz. 14 hal. 31-41″ dan penulis “mughni” mehikayatkan perselisihan dalam permasalahan tersebut, kemudian merajihkan bolehnya dan berhujjah dengan hadits ‘Aisyah pada kisah Hindun, dan mengilzamkan Abu Hanifah dengan tanaqudh (ucapannya saling bertolak belakang).-selesai yang di inginkan-
Kukatakan: Apa yang telah lewat insya Allah cukup sebagai penjelasan akan kebatilan usul bikinan Al-’Ar’ur ini, yang syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- terpengaruh dengannya.
Dan di antara penjelas akan kebatilan manhaj ini adalah:
1- Menempuh usul Al-’Ar’ur ini akan merusak kaidah jarh wat ta’dil!!
2- Dan pada usul ini terjadi pencampuran terhadap kaidah-kaidah ulama.
3- Kaidah ini membuka pintu marabahaya, ketahuilah bahaya itu adalah pengadaan pengadilan hukum terhadap para penasihat ahli jarh wat ta’dil di pengadilan pihak orang-orang yang dijarh!! Dan orang yang dijarh punya hak menuntut dalam pengadilan terhadap siapa yang menjelaskan kebatilannya!! Dan inilah yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi hadahullah!!
Syaikhuna Al-’Allamah Yahya bin ‘Ali Al-Hajury hafidzahullah berkata di “Al-Wala wal Bara’ Adh-Dhoyyiq” manakala beliau menyebutkan beberapa bentuk wala’ dan bara’ yang sempit di sisi Al-Wushabi dan hizbul Jadid: (Fatwa mengadakan majlis pengadilan, dulu mereka meningkarinya, kemudian (sekarang) Syaikh Muhammad berfatwa untuk mengadili ahlis sunnah! Dan menyindir dalam kalamnya untuk mengadakan majlis pengadilan Falih Harbi –atau sebagian dari siapa yang ia jadikan pembela Falih Harbi- terhadap Syaikh Rabi’, dan mengisyaratkan di sana ada yang sedang mengadakan majlis pengadilan [kukatakan: Dia adalah Usamah 'Athoya sebagaimana yang sampai kepada kami] dan semisal ini, ini adalah wala’ dan bara’ yang sempit, siapa yang berkata ini bukanlah hizbiyyah! Dan menunggu (baru dia mau katakan Abdurrahman Hizbi) hingga ‘Abdurrahman Al-’Adeni masuk anggota Perkumpulan Yamani milik Ikhwanul (Muflisin) maka dia terjatuh dalam kesalahan!!).-selesai yang di inginkan-
Kukatakan: Al-Wushabi telah menyeru terhadap hal ini, dan ngaku-ngaku bahwa para ulama menyepakatinya terutama Al-Imam Al-Wadi’i rahimahullah!! Dan menyindir dan mengisyaratkan bahwa siapa yang tidak menempuh usul ini maka dia adalah khawarij!! Sebagaimana dalam kasetnya berjudul “Ahammiyyah Al-iltifaf hawlal ‘Ulama’” tanggal 13/12/1428, di antara yang ia katakan: (pada hari-hari ini telah sampai kepadaku kabar tentang dua orang di Saudi Arabiyyah salah seorang dari keduanya menuduh yang satunya lagi bahwasanya dia hizbi, kemudian perkaranya diangkat kepada pengadilan syari’ah dan hasil keputusannya adalah lepasnya yang tertuduh dari tuduhan dan si penuduh ditahan karena tidak punya bayyinah dan di cambuk dengan beberapa kali cambukan inilah hukuman!! Inilah keadilan!! Inilah inshaf!!
Dan diantara yang ia katakan: Juga di sana ada kasus lain sebagaimana aku juga dikabarkan bahwa di Su’udiyyah sampai sekarang dalam pengadilan ada dua orang selain dua orang tadi, demikianlah dilindungi kehormatan demikianlah perlindungan…!!…karena sesungguhnya Ahlus sunnah yang teranggap adalah yang berpegang teguh dengan kitab dan sunnah, ahlus sunnah bukanlah khawarij mereka tidak memberontak terhadap pemerintah, dan pemerintah dianggap bapak bagi semuanya dan ibu…dan telah diminta kepadaku muhadharah pada malam ini, maka kukatakan ini adalah kesempatan.
Dan kalamku ini akan di paparkan di depan ulama jazahumullahu khairan mereka saya hormati dan junjung tinggi para masyayikh, masyayikh ahlus sunnah Syaikh Rabi, Syaikh An-Najmi, Syaikh Al-Jabiri, Syaikh Al-Imam, Ash-Shawmali, Adz-Dzammari, Al-Buro’i, dan seterusnya dari para masyayikh ahlus sunnah yang saya hormati dan hargai, dan aku tidak akan menyendiri dari mereka selamanya, kalamku hanyalah dari kalam mereka!!!…demi Allah wahai saudaraku fillah saya yakin bahwasanya para ulama bersamaku pada kalam ini baik itu ulama tauhid di Yaman atau di Ulama tauhid di Su’udiyyah dan ulama tauhid lainnya di manapun mereka berada.
…aku katakan kalam ini dalam keadaan saya yakin bahwasanya ini adalah ucapan seluruh ulama ahlus sunnah wal jama’ah, kalau saja Syaikh Muqbil rahmatullahi ‘alaihimasih hidup niscaya ia tidak akan mengatakan melainkan persis dengan apa yang kukatakan –kalau saja beliau masih hidup kalau saja Syaikh Muqbil masih hidup- seandainya beliau mendengar kalamku ini niscaya beliau tidak mampu berkata kecuali sebagaimana yang kukatakan.-selesai-
Kukatakan: Inilah kalam Imam Al-Wadi’i rahimahullah meruntuhkan apa yang dinisbatkan oleh Wushabi terhadap beliau secara batil, di mana beliaurahimahullah berkata di “As-Suyufil Batirah” hal. 288-289: (Pada hakikatnya para hakim tidak memiliki kemahiran, sifat rakus telah mematikan hati-hati mereka …maka Allah menimpakan atas kalian musibah dengan para hakim yang tidak peduli terhadap kalian dan terhadap islam…mereka itu para hakim yang tiada kebaikan pada mereka dan tidak pula menaruh perhatian terhadap perkara kaum muslimin)-selesai-
Dan hizbi ‘Abdirrahman Al-’Adeni telah menerapkan fatwa Syaikh Al-Wushabi yang busuk ini, dan membawa sejumlah saudara kami salafiyyin yang tidak setuju dengan hizbiyyah dan perpecahan mereka kepada pengadilan (Negara), yang menyeb;abkan sebagian dari mereka ada yang dijobloskan penjara, dan di antara mereka ada yang di sita mesjidnya..demikianlah:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ [النحل/25]
“Supaya mereka memikul dosa-dosa mereka dengan sempurna pada hari kiamat kelak, dan dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu. ketahuilah, Amat buruklah apa yang mereka pikul itu.” [An-Nahl: 25].
Tidak jauh kemungkinan usul bikinan ini dari susupan Syaikh Wushabi –hadahullah- ke dalam kitab ini, wallahul musta’an.
Pembahasan Ketiga Dan Keempat
(Pembenaran Manhaj Muwazanah) Dan (Membawa Kalam Yang Umum Kepada Kalam Yang Rinci)
Kedua kaidah ini termasuk dari kaidah-kaidah yang paling buruk yang dipakai oleh ahlul bida’ dan ahwa pada zaman ini, dengan alasan menegakkan keadilan dan inshaf terhadap para pelaku kesalahan dan penyimpangan, baik itu dari kelompok-kelompok, atau dari para ahlil bida’ ataupun siapa yang terjerembab pada kesalahan (fatal) yang merupakan sebab ia menyimpang dan keluar dari lingkup ahlus sunnah dari kalangan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya.
Manakala ahlus sunnah bangkit menjelaskan kebid’ahan dan fitnah mereka, merekapun mendatangkan makar dan tipu daya ini guna melindungi pemikiran-pemikiran dan orang-orang mereka dari penjelasan ahlus sunnah terhadap fitnah dan bid’ah mereka dan dari jarh ahlus sunnah terhadap mereka, merekapun menyeru-nyerukan kata keadilan dan inshaf dan penegakannya dengan mewajibkan muwazanah (menyebutkan kebaikan dan kejelekan seseorang ketika menjelaskan kebid’ahannya) antara kesalahan dan ketergelinciran tadi dengan kebaikan-kebaikan yang telah dia persembahkan kepada dakwah mereka, dan bahwasanya meruntuhkan kebaikan-kebaikan tadi termasuk kezaliman, dan kesalahan-kesalahan tersebut bukanlah dia yang menjadi asas yang dikedepankan dalam berhukum, tapi yang di jadikan asas adalah jasa mereka terhadap dakwah itulah yang seyogyanya dijadikan hukum terhadap mereka.
Efek samping manhaj ini:
1- Membatalan penerapan manhaj jarh wat ta’dil dan menjatuhkannya.
2- Meruntuhkan jerih payah Ahlus Sunnah yang menasihati dan membungkam mulut-mulut mereka (dari menjelaskan kemungkaran mereka -pent).
3- Menganggap para salaf itu jahil (karena tidak mengetahui dan menerapkan manhaj muwazanah dan membawa kalam yang umum kepada kalam yang rinci -pent).
4- Menuduh mereka (para salaf) berlaku zalim.
5- Mengangkat dan memuliakan citra bida’ dan pelakunya.
6- Membuat mereka terus menyeru kepada fitnah mereka.
Dan di antara perbedaan manhaj muwazanah dari manhaj haml[1] mujmal ‘alal mufashshol (membawa kalam yang umum kepada kalam yang rinci):
- Orang-orang yang menerapkan manhaj muwazanah tidak menafikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mereka bela, karena mereka tidak mampu menolaknya karena begitu jelasnya kesalahan tersebut, hanya saja mereka menggunakan trik bid’iyyah ini untuk menenggelamkan dan menimbun kesalahan-kesalahan tadi ke dalam kebaikan-kebaikan yang mereka miliki, dari situlah mereka membatalkan penerapan jarh (terhadap mereka).
- Adapun kelompok kedua (yang menerapkan manhaj haml mujmal ‘alal mufashshol) mereka mendatangi ucapan yang salah atau jelas kesalahan, kemudian memakaikannya pakaian mujmal (dengan mengatakan ini adalah ucapan global atau umum), lalu mengatakan ucapan ini masih ada tafshil (kemungkinan makna atau maksud lain)!! Kalau begitu mestinya ucapan global ini perlu di rinci dan di takwil! Dan tidaklah kita bisa menentukan takwil atau rinciaannya kecuali dengan melihat perjalanan hidup orang ini! Apabila perjalanan hidupnya bagus dan punya banyak kebaikan terhadap dakwah, maka ucapan global atau umum tadi –menurut sangkaan mereka yang pada hakikatnya ucapan itu adalah ucapan yang jelas salah- di bawa kepada tafshil (kemungkinan makna atau maksud yang baik), dan tafshil tadilah yang menjadi landasan dalam menghukumi orang tadi!!!
[1] Kalam global adalah ucapan yang tidak dipahami darinya makna ketika diucapkan tanpa penjelas atau ucapan yang punya dua kemungkinan makna tidak ada kelebihan salah satunya terhadap yang kedua, seperti lafadz-lafadz yang bersekutu maknanya seperti lafadz al-’ain bersekutu antara makna emas dan mata yang melihat dan selain keduanya, al-quru bisa berarti haidh bisa juga berarti masa suci, dan asy-syafaq bisa berarti putih bisa juga berarti merah. Dan para penerap manhaj al-mujmal wal mufashshol tidak berdiri di atas al-mujmal wal mubayyan (yang jelas) di sisi usuliyyin dan segenap ulama.
Mereka hanyalah mendatangi kalam ahlul bida’ dan batil yang jelas dan terang makna-maknanya bagaikan terangnya matahari, baik itu nash-nash ucapan mereka ataupun apa yang nampak dari zahir kalam mereka kemudian mereka katakan ini termasuk dari bab mujmal kemudian mereka bawa kepada makna yang mereka namakan mufashshol padahal itu bukanlah mufashshol bukan pula al-mubayyan yang ma’ruf di sisi usuliyyin (ahli usul). Lihat “Ibthol maza’im Abil Hasan hawla al-mujmal wal mufashshol” karya Syaikh Rabi’ hafidzahullah.
Dan ini bukanlah al-mufashshol bukan pula al-mubayyan yang ma’ruf di sisi ahli usul, bahkan manhaj ini pada hakikatnya adalah membawa makna yang jelas kepada makna yang ditakwilkan, dan ini tidak boleh diterapkan terhadap ucapan orang yang tidak ma’shum secara ijma’ (kesepakatan), sebagaimana ijma’ tadi dinukil oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya “Ash-Shawarimul Haddad” hal. 96-97.
Karenanya manhaj haml mujmal ‘alal mufashshol itu lebih busuk daripada manhajmuwazanah, karena pemilik manhaj muwazanah mengakui adanya kesalahan dari orang yang mereka bela dan menyebutkannya, beda dengan pemilik manhaj al-mujmal wal mufashshol mereka tidak mengakui adanya kesalahan dan melarang menyebutkannya.
Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata di “Tanbih Abil Hasan ilal Qoul billati hiya Ahsan”:“Manhaj ini (al-mujmal wal mufashshol) lebih jelek daripada manhaj antara kebaikan dan kesalahan, karena manhaj (muwazanah) ini (masih) menyebutkan kesalahan adapun manhaj itu (al-mujmal wal mufashshol) melarang sama sekali menyebutkan kesalahan, dan mengandung celaan terhadap salaf pada kritikan-ritikan, jarh dan ta’dil mereka yang perpustakaan-perpustakaan dipenuhi dengan kitab-kitab yang berisi kritikan, dan jarh wat ta’dil mereka.-selesai-
Di antara kesamaan antara kedua manhaj:
- Kedua-duanya membenarkan adanya cacat pada ucapan atau amalan, yang pertama mengakuinya, yang kedua menyerukan kemungkinan pada ucapan dan amalan dengan tidak mengakui kesalahan tadi.
- Kedua-duanya menganggap perjalanan hidup seseorang itulah yang dijadikan landasan yang seyogyanya berhukum dengannya.
- Tujuan keduanya satu yaitu membela kelompok dan individu yang di jarh, dan membatalkan penerapan jarh terhadapnya, menyia-nyiakan jerih payah para penasihat, serta meruntuhkan kaidah-kaidah jarh sampai ke akar-akarnya.
Syaikh Muhammad Al-Imam sendiri telah menjelaskan kerusakan manhaj berbahaya ini di kitabnya “Bidayah Al-Inhiraf wa Nihayatuh” hal. 326, kami mendatangkan ucapannya tersebut di sini sebagai bantahan atas dirinya sendiri!! Sekaligus mengingatkannya kembali apa yang ia dulu di atasnya!! Di mana ia berkata: (Mengamalkan kaidah ini akan membuka pintu terhadap orang-orang yang menyimpang dalam bidang aqidah dan selainnya, bahwasanya kesalahan-kesalahan mereka tenggelam dengan kebaikan-kebaikan mereka, maka siapa yang berpegang dengan kaidah tersebut mesti dia akan terjerembab dengan keharusan ini, berdasarkan ini maka tidak akan tersisa satu orang sesat menyesatkan-pun di dunia melainkan akan bergantung dengan (ucapan) kebaikan-kebaikan akan menenggelamkan kejelekan-kejelekannya)!!!
Kukatakan: Kalam dari Syaikh Muhammad sendiri cukup untuk menjatuhkan kaidah buatannya ini!
Pembelaannya (Syaikh Al-Imam) terhadap pelaku hizbiyyah dari para hizbiyyin baru menyebabkannya melupakan beberapa usul-usul salafiyyahnya, demi mengadakan perlawanan terhadap al-haq yang telah di buktikan dan di tegakkan oleh Syaikh Yahya tentang fitnah mereka!!
Kalau ini sudah jelas:
Maka ketahuilah bahwa Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- sungguh telah berupaya dengan gencar dalam kitabnya “Al-Ibanah” untuk membenarkan kedua manhaj bid’ah ini, khususnya manhaj muwazanah, bukan hanya satu atau dua tempat dalam kitabnya, dan menerapkannya dengan penerapan yang jelas dengan gaya Abil Hasan Al-Mishri, ‘Adnan ‘Ar’ur, Suwaidan, dan selain mereka para pengibar panji manhaj rusak ini.
Dan kami akan mendatangkan apa yang kami deteksi dari manhaj tersebut pada beberapa tempat, kukatakan dengan hanya memohon bantuan kepada Allah saja:
Yang pertama::
Berkata Syaikh Al-Imam –waffaqohullah- di “Al-Ibanah” hal. 126 di bawah tema:
(Yang Menjadi Tolak Ukur Adalah Jalan Yang Ditempuh Oleh Ahli Istiqomah Bukanlah Kesalahan-Kesalahan Dan Ketergelinciran Mereka)
Kemudian berkata: (Ketahuilah –wahai penuntut ilmu- bahwasanya kesalahan dan ketergelinciran tidaklah selamat darinya kecuali al-ma’shumshallallahu ‘alaihi wa sallam, selama perkaranya demikian, maka tidaklah mungkin seseorang selamat darinya selamanya, namun hendaknya ia ketahui bahwa apa yang timbul dari mereka dari kesalahan dan ketergelinciran tidak sah ia bertopang atasnya dan pada asalnya tidak teranggap untuk memutuskan vonis umum terhadap pelakunya, bahkan yang menjadi topangan adalah perjalanan hidup mereka yang mereka dikenal dengannya, dan keadaannya yang ia terus-menerus ada di atasnya, tentunya dengan tetap menghukumi kesalahan terhadap pemilik kesalahan dan tergelinciran, dan dalil-dalil mengenai hal ini banyak).
Kemudian Syaikh Al-Imam –waffaqohullah- juga berdalih guna membenarkan kaidah ini, dengan contoh-contoh yang dia ambil dari Abil Hasan Al-Mishri dan selainnya untuk membenarkan manhaj haml mujmal ‘ala al-mufashshol danmuwazanah:
1- (Bahwasanya Allah memaafkan para sahabat, di sebabkan apa yang timbul dari sekelompok dari mereka pada perang uhud)
2- Kemudian memdatangkan misal Abu Isma’il Al-Harawi, dan apa yang di nisbahkan kepadanya dari pendapat wihdatil wujud dan selainnya, kemudian menukilkan kalam ibnul Qoyyim dan mengesankan bahwa ibnul Qoyyim mencocoki kaidahnya.
3- memisalkan dengan ibnu Hibban Al-Basti, dan apa yang dinisbahkan kepadanya dari pendapat bahwa nubuwwah itu dapat diperoleh dengan upaya…kemudian menukilkan juga dari Adz-Dzahabi yang ia sangka mencocoki kaidahnya.[1]
Kemudian berkata menyimpulkan semua yang telah lewat:
(kesimpulan pada permasalahan ini: Menegakkan keadilan terhadap pemilik kesalahan dan ketergelinciran, dan tidaklah ditegakkan bagi mereka (keadilan) kecuali dengan menganggap yang mendominasi mereka, apabila yang dominan pada ucapan, amalan, dan aqidah seseorang menepati kebenaran dan berjalan di atasnya, maka tidak boleh sama sekali engkau menjadikan kesalahan dan ketergelincirannya sebagai asal dan pondasi untuk menvonisnya sebagai munharif(orang yang menyimpang), bahkan semestinya kita berprasangka baik terhadapnya, dan tidak di ikuti kesalahannya, dan barangsiapa yang menyimpang dari menegakkan keadilan ini, malah mencari ketergelinciran dan kesalahan-kesalahan hamba-hamba Allah, dengan niat (supaya kelihatan) banyak dan menjadikan hal itu sebagai batu loncatan untuk menghukumi para pelakunya dengan hukuman inhiraf (menyimpang) dari al-haq, semoga Allah mencukupi kita dari kejelekan tipe orang semacam ini)-selesai-
[1] Kemudian mendatangkan misal hadits ((ما خلت القصواء)) [artinya: Al-qoshwa tidak mau jalan] dan menukil kalam ibnu Hajar untuk menguatkan kaidahnya –menurut sangkaannya-, namun pada kalam hafidz bin Hajar jelas membatalkan kaidahnya, karenanya kami tidak perlu susah-susah membantahnya!
Kukatakan: Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- sungguh telah membenarkan manhaj muwazanah dan haml al-mujmal ‘ala al-mufashshol pada ucapannya ini, dan mendatangkan alasan-alasan dan dalih-dalih orang yang telah mendahuluinya dari pemegang manhaj rusak ini seperti Abul Hasan Al-Mishri dan selainnya, sebagaimana akan datang penjelasannya dengan gamblang.
Dan tiada sama sekali dari apa yang ia jadikan dalih menunjukkan benarnya usul batil ini, bahkan sesungguhnya pada kalam ulama yang ia nukilkan ada bantahan atasnya.
Kami akan jelaskan kepalsuannya dengan idzin Allah Jalla wa ‘Ala.
Maka kukatakan dengan memohon bantuan kepada Allah:
Ketahuilah –waffaqokallah- bahwasanya apa yang diserukan kepadanya oleh Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- berupa penegakan keadilan dan inshaf terhadap para pelaku kesalahan dan kekeliruan, dan tidaklah dapat ditegakkan keadilan bersama mereka kecuali dengan menjadikan landasan apa yang sering dari keadaan dan perjalanan hidup mereka,…itu persis dengan apa yang diterapkan dan diserukan kepadanya oleh para pemilik manhaj muwazanah dari satu sisi, dan pemilik manhajhaml ‘ala al-mufashshol[1], dan yang menunjukkan penerapan Syaikh Muhammad terhadap manhaj ini adalah apa yang akan datang dari pendalihan-pendalihannya yang telah lewat isyarat kepadanya yang mana pedalihan-pendalihannya itu adalah pedalihan-pendalihan pembawa manhaj ini seperti Abil Hasan Al-Mishri dan selainnya.
Penyeru kepada manhaj muwazanah Ahmad bin ‘Abdirrahman Ash-Shuwayyan dalam kitabnya “Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Taqwim Ar-Rijal wa Muallafatihim” hal. 27: (kelima: Al-Muwazanah (menimbang) antara kelebihan dan kekurangan: Apabila telah pasti bahwa seorang manusia –bagaimanapun tinggi kedudukannya- tetap saja bisa terjatuh kepada kebenaran dan kesalahan, maka tidak boleh bagi kita mencampakkan seluruh ijtihad-ijtihadnya, tapi kita lihat kepada ucapan-ucapannya yang mencocoki al-haq lalu kita ikuti, dan kita berpaling dari kesalahan-kesalahannya, jadi manhaj Al-Muwazanah (menimbang) antara kelebihan dan kekurangan dialah keadilan dan inshaf yang sebenar-benarnya, berikut ini penjelasan permasalahan ini dengan dalil-dalil dan contoh-contohnya.)-selesai-
Dan ini sama juga dengan apa yang di tetapkan oleh Syaikh Muhammad Al-Imam pada apa yang telah lewat.!!!
Seruan pembawa manhaj muwazanah untuk menegakkan keadilan dengan para pelaku kesalahan dan kekeliruan, merupakan tipuan yang mereka tempuh untuk menghiasi bid’ah di hadapan manusia, dan berlagak di hadapan mereka bahwa merekalah yang menegakkan keadilan dan inshaf, adapun ahlus sunnah yang menasihati dan mengkritik ahlul bida’, dan memvonis bid’ah terhadap siapa yang berhak dengan vonis tadi dari orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah, dan memberikan haknya kepada semua yang berhak…mereka adalah pelaku kezaliman dan kelaliman!!
[1] Dari sisi bahwa tujuan manhaj haml ‘ala al-mufashshol adalah berupaya menjadikan kesalahan yang jelas supaya tidak menjatuhkan kredibilitas pelakunya dengan cara memakaikan kesalahan tersebut dengan pakaian ijmal (ucapan atau amalan global) guna meminilasir kesalahan yang timbul dengan gambaran bahwa kesalahan tersebut masih bisa di bawa kepada kemungkinan ini dan itu disertai pengakuan mereka bahwa ucapannya (yang salah) ini memiliki kemungkinan makna yang benar, kemudian setelah itu mereka menuntut rincian guna membatalkan apa yang masih tersisa dari kemungkinan!!
Maka mesti kita jelaskan makna “adil” dan makna “zalim” di sisi ulama bahasa dan ulama syari’at, sehingga kesamaran dan kabut sirna, dan pencari kebenaran berada di atas basirah (cahaya ilmu) dalam perkaranya, dan keterangan yang nyata dalam agamanya.
Ibnu Faris berkata dalam kitabnya “Al-Mujmal Al-Lugoh”, dalam makna “‘Adala” “Al-’Adl: lawan kata dari Al-Jawr (penganiayaan)”
Al-Azhari berkata dalam materi: “‘Adala”: (keadilan adalah: hukum dengan kebenaran, dikatakan: dia berhukum dengan al-haq dan berlaku adil, dan dia hakim yang adil, dan berlaku adil dalam memutuskan hukumnya).
Jadi keadilan sebagaimana yang engkau lihat adalah kebalikan penganiayaan/kelaliman, dan dia adalah berhukum dengan al-haq.
Maka apabila seorang ulama yang ahli kritik (kritikus) menjarh(menjatuhkan kredibilitas) orang yang berhak di vonis mubtadi’, dan mentahdzir (melarikan manusia) dari kebid’ahannya, maka dia itu adalah penegak keadilan, penasihat kepada islam dan muslimin, dan dia bukanlah orang yang zalim, bahkan dia itu menunaikan kewajiban.
Dan kalau dia diam dari orang yang berhak di jarh dan ditahdzir darinya maka dia menjadi pelaku khianat, dan menipu terhadap agama Allah dan terhadap kaum muslimin.
Kalau seseorang malah melakukan yang lebih jauh dari diam seperti membela dan melindungi bida’ dan pelakunya, di antara bentuk pembelaanya dengan menyeru banyaknya sisi kebaikan dan perjalanan hidup mereka yang bagus dari pada kebid’ahan mereka, sungguh ia telah membinasakan dirinya sendiri, dan menyeret orang yang mendegarnya kepada jurang yang sangat dalam, dan sangat dalam membela kebatilan serta menolak kebenaran.
Dan ini adalah ciri khas dan akhlak orang-orang yahudi yang menghalang-halangi dari jalan Allah padahal mereka tahu.
Abul Husain Ahmad bin Faris berkata dalam kitabnya “Mu’jam Maqoyiis Al-Lugoh´3/468: Dzalama: Dza’, lam, dan mim, punya dua asal yang shahih: 1- salah satunya: lawan kata sinar dan cahaya. 2- kedua: penempatan sesuatu bukan pada tempatnya dengan melampaui batas.
Yang pertama: Adz-Dzalamah (kegelapan), jamaknya: Dzulumaat dan Adz-Dzullaam: nama kegelapan…
Asal berikutnya: dzalamahu yadzlimuhu dzulman, asalnya: menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, tidakkah engkau dapati mereka mengatakan (barang siapa yang mirip bapaknya maka dia tidaklah dzalim) yakni: dia tidaklah menempatkan kemiripan bukan pada tempatnya.
Dan semacam ini Al-Jauhari katakan di kitab “shihah” nya dan Al-Azhari di materi (Dzalama): bahwasanya adz-dzulm (kezaliman) adalah: menempatkan sesuatu pada yang bukan tempatnya.
Maka barangsiapa yang mengkritik seorang mubtadi’ atau kitab yang mengandung bida’ atau menjarh siapa yang berhak untuk di jarh, dan mencela siapa yang berhak di cela dari perawi atau saksi palsu, pelaku kezaliman, pelaku kefasikan dengan terang-terangan, maka dia itu bukanlah orang zalim, karena dia telah menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya dan sebagaimana mestinya.
Dan yang dzalim lagi melampaui batas adalah siapa yang malah bangkit mencelanya (golongan pertama yang mengkritik mubtadi’…) dan menjelekkannya serta bersekongkol memusuhinya, justru dia itulah yang pada hakikatnya menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, di mana dia merekomendasi orang-orang yang dijarh, para penyeru kepada pintu-pintu jahannam, dan mencela para penasihat kepada kaum muslimin, para penyeru untuk menempuh jalan yang lurus, dan mengikuti salaf ash-shalih, di antaranya: mengkritik dan mentahdzir (memperingatkan ummat) dari para mubtadi’.
Bahkan siapa yang membela mereka (ahlul bida’, hizbiyyin dsb), berdebat dengan batil demi membela mereka, maka dia termasuk orang yang paling berhak dengan perkataan Allah ta’ala:
وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (107) يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا (108) هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا [النساء/107-109]
“Dan janganlah kalian berdebat demi membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang suka berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari manusia, namun tidak bersembunyi dari Allah, Padahal Allah beserta mereka, manakala mereka merencanakan makar secara rahasia pada suatu malam yang Allah tidak ridhai, dan adalah Allah muhith (maha meliputi ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Demikianlah kalian, mereka itu yang kalian berdebat demi membela mereka dalam kehidupan dunia. maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk membela mereka pada hari kiamat? atau siapakah yang menjadi pelindung bagi mereka?” [An-Nisa’ 107-109].[1]
Dan Allah ta’ala berkata dalam kitabnya yang mulia:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ } [المائدة: 8]
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kalian orang-orang yang senantiasa menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorongmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Khabir (maha mengetahui) apa yang kalian amalkan. [Al-Maidah: 8].
Dan berkata Jalla wa ‘Ala:
{وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى } [الأنعام: 152]
“Apabila kalian berucap maka tetapilah keadilan meskipun terhadap kerabat dekat.” [Al-An’am: 152].
Al-‘Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah ta’ala pernah ditanya tentang permasalahan ayat-ayat ini daln selainnya dari dalil-dalil yang semakna, dan bagaimana cara pengarahannya dengan ucapan bahwa tidak mesti menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dibantah.
Maka beliau rahimahullah menjawab menjelaskan makna yang benar pada ayat-ayat tadi dan semacamnya: (Bukanlah termasuk dari keadilan menyebutkan kebaikan-kebaikan manakala membantah, bahkan sesungguhnya barangsiapa yang membantah seseorang kemudian membarenginya dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Maka ia teranggap telah menganjurkan orang-orang kepada orang tadi (bukan malah mentahdzir darinya –pent) dan memberinya rekomendasi, seolah-olah dia sendiri mengaku bahwasanya bantahannya terhadap orang tadi merupakan kesalahan, bahkan pada perbuatannya itu merupakan dorongan terhadap manusia supaya termakan
[1] ((Al-Mahajjatu Al-Baydho’)) karya Syaikh Rabi’ hal. 28-30 dengan perubahan.
tipuannya dan mengikutinya dalam kebatilan yang ia telah terjerumus kedalamnya atau yang akan terjerumus padanya, dan ini adalah kerusakan dan bukan perbaikan, dan tidak seorangpun yang mengatakan seperti ini kecuali para hizbiyyin yang mereka itu berupaya mendatangkan perkara-perkara yang Allah tidak turunkan bagunya bukti, dari apa yang syaitan terkutuk diktekan.
Kemudian keadilan itu terdapat pada keputusan hukum, bukan pada penyebutan –bantahan- Allah memerintahkannya yakni keadilan supaya mengatakan al-haq tidak curang dan tidak pula tipu daya, Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا } [النساء: 135]
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap diri-diri kalian sendiri atau ibu bapa dan para kerabat kalian. Jika yang kalian bersaksi atasnya itu kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih baik bagi mereka. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu dengan menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balik (fakta) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah itu ‘Alim (Maha mengetahui) setiap yang kalian kerjakan.” [An-Nisa’: 135].
Maka barangsiapa yang mengira bahwasanya termasuk keadilan dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan pelaku kesalahan, yang tidak berkaitan dengan permasalahan yang ia dibantah padanya, maka ia telah mendatangkan ucapan batil dan sangkaan yang tertolak, saya telah jelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyebutkan kebaikan orang-orang yang beliau bantah, jadi perintah untuk berlaku adil merupakan larangan bagi siapa yang menghukumi orang tersebut dengan sesuatu yang ia tidak lakukan atau ucapkan, keadilan yang hakiki adalah dengan ia mengatakan tentang orang tadi dengan apa yang dia amalkan, dan tidak membawa kalamnya kepada makna yang tidak tertuju ke situ, dan hanya Allah-lah yang memberi taufiq. (Al-Fatawa Al-Jaliyyah) 2/168-169.
Dan termasuk berlaku adil terhadap ahlul bida’dan siapa yang berhak di sifati dengan bid’ah dari orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada sunnah, agar di beri ganjaran atas kebid’ahan dan kehizbiyyahan mereka, dan dari ganjaran mereka adalah dengan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan tidak menganggap kebanyakan atau keseringan keadaan mereka di samping kebid’ahan mereka!! Sebagaimana timbangan Syaikh Muhammad Al-Imam –‘Afallahu ‘anhu- yang ia serukan!!
Dan demikianlah Imam Rafi’ bin Asyras berkata: ((dahulunya dikatakan: di antara ganjaran tukang dusta, tidak diterima kejujurannya, aku katakana:di antara ganjaran orang fasik dan mubtadi’, tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya.)) Syarh ‘ilal At-Tirmidzi karya ibnu Rajab 1/353.
Kukatakan: dan termasuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya adalah dengan mengingatkan manusia tentang banyaknya fadhilah-fadhilahnya serta sejarah hidupnya yang bagus, kemudian menjadikan tadi semua sebagai tolak ukur dalam memutuskan hukum keadaannya (dia itu ahlul bida’ atau ahlus sunnah –pent), mencampakkan kekeliruan dan kesalahan yang telah ia lakukan!!
Wajib atas Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah- dan selainnya yang menetapkan manhaj ini supaya mengerti dan memahami akibat ucapan ini atau timbangan miring, dan memahami sampai sejauh mana (efek negatifnya) dan bahaya-bahayanya, dan segera kembali kepada kebenaran al-haq dan keadilan hakiki yang terkandung dalam agama islam dan diserukan kepadannya al-kitab, sunnah dan manhaj salaf as-shalih, dan memahami bahwasanya kezaliman itu kalau kamu katakan terhadap seseorang atau suatu kitab ataupun kelompok apa yang tidak ada pada mereka, tapi apabil seseorang atau suatu kelompok berhak di vonis bid’ah di sertai dengan penjelasan dan penyebutan darimu apa yang ada pada mereka dari kebid’ahan, fitan, dan kesesatan yang konsekwensinya vonis tadi, kemudian kamu tulis dan sebar dalam rangka nasihat terhadap islam dan kaum muslimin, maka yang demikian itulah keadilan dan inshaf pennunaian kewajiban dari kewajiban-kewajiban jihad dan pembelaan terhadap batasan-batasan islam.
Adapun manhaj berbahaya ini malah berupaya menjauhkan jarh wat ta’dil, dan mendiamkan mulut-mulut ahlus sunnah, serta membela ahlu al-bida’, dan siapa yang berhak dengan penamaan ini dari mereka yang menisbatkan dirinya kepada sunnah…
(Dalil-dalil kitab dan sunnah serta manhaj salaf membatalkan timbangan milik Syaikh Muhammad Al-Imam ini)
Inilah kitab Rabb kita dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallammembatalkan timbangan ini yang diserukan kepadanya oleh Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohhullah-! dan selainnya dari para pembawa panji manhaj muwazanah!!
Allah ‘azza wa jalla berkata dalam kitabnya yang mulia:
{ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ } [الأعراف: 175، 176]
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (ilmu), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (menggodanya), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami mau sungguh Kami akan tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, jadilah perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”[Al-A’raf: 175-176].
‘Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah ta’ala berkata dalam tafsirnya 1/308: (Allah ta’alaberkata kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam: (Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami)yakni kami ajarkan kepadanya kitabullah, kemudian jadilah ia seorang alim yang besar, alim yang mahir (kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan) yakni melepaskan diri dari sifat orang yang berilmu ayat Allah yang hakiki, sebab orang yang mengilmui ayat-ayat Allah akan membuatnya bersifat dengan akhlak yang mulia dan amalan-amalan yang terpuji, serta mengangkatnya kepada derajat tertinggi dan kedudukan terhormat, namun orang itu malah meninggalkan kitabullah di belakang punggungnya, dan mencampakkan akhlak-akhlak yang di perintahkan oleh kitabullah, dan melepasnya sebagaimana ia melepas pakaian, manakala dia sudah berlepas diri darinya maka syaithanpun memburunya, yakni: Syaithanpun mengendalikannya ketika ia sudah keluar dari benteng pelindung, kemudian menjerembabkannya kepada kehinaan (dan neraka) yang paling bawah, lalu membujukknya melakukan maksiat-maksiat, (Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat) setelah sebelumnya dia termsuk dari orang-orang yang mendapat hidayah dan menunjuki orang kepada hidayah tadi.
Ini karena Allah ta’ala menelantarkannya dan mewakilkannya kepada dirinya sendiri, karenanya Allah ta’ala berkata: (Dan kalau Kami mau sungguh Kami akan tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu) dengan memberinya taufiq agar beramal dengannya sehingga derajatnya meninggi di dunia dan akhirat, dan berlindung dari musuh-musuhnya, (tapi) dia melakukan amalan yang mengakibatkan ia ditelantarkan, kemudian (dia cenderung kepada dunia…) -selesai yang di inginkan-
Kukatakan: Bersamaan dengan amalannya memikul Al-kitab dan amalan-amalan terpuji serta kedudukan yang tinggi, manakala ia melakukan apa yang ia menjadi sesat karenanya, derajatnyapun jatuh dan diperumpamakan dengan sejelek-jeleknya permisalan!
HAL 81-82 DITERJEMAHKAN OLEH SYUKRAN
Seandainya mengedepankan (sisi) kebaikan-kebaikan dan tingkah laku yang baik serta keutamaan-keutamaan ini sebagai landasan dalam menghukumi, tanpa menganggap kesalahan, dan yang demikian itu termasuk bagian dari agama Allah, maka niscaya Allah tidak akan menghukumi dengan hukuman tersebut!
Allah ‘azza wa Jalla berfirman dalam kitabnya yang mulia:
{ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ } [النور: 63]
“Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan di timpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” [An-Nur: 63].
Imam Ahmad rahimahullah berkata: Aku mencermati Al-Qur’an, maka kudapati dalamnya tiga puluh tempat perintah agar mentaati Rasul kemudian beliau membaca:
{ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ } [النور: 63]
“Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan di timpa fitnah.” [An-Nur: 63].
Beliau mengulang-ngulang ayat tadi kemudian berkata: tidaklah fitnah di sini melainkan kesyirikan bisa jadi kalau dia menolak sebagian ucapannyashallallahu ‘alahi wa sallam akan meresap dalam hatinya penyimpangan kemudian hatinyapun menyimpang lalu membinasakannya kemudian beliau membaca ayat ini. (Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid 2/1084-1085)
Aku katakana: Swandainya imam Ahmad menerapkan metode muwazanah mengunggulkan sis amalan yang baikdan keutamaan-keutamaannya, serta menjadikannya sebagai landasan dalam menghukumi, tanpa menganggap kesalahan dan kekeliruan niscaya beliau tidak akan berkata demikian!
Inilah khalifah (pengganti) Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu takut atas dirinya penyimpangan apabila menyepelekan sebagian sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata: Saya tidak akan meninggalkan sesuatu yang pernah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallamamalkan melainkan aku mengamalkannya, karena sesungguhnya aku khawatir kalau saya meninggalkan sesuatu dari perintahnya saya akan menyimpang) HR. Bukhari dan Muslim.
Seandainya timbangan muwazanah yang di tetapkan oleh Syaikh Muhammad itu teranggap di sisi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu niscaya ia tidak akan berkata demikian!
Imam Bukhari meriwayatkan di Shahihnya dari ibnu Abi Mulaikah: beliau berkata: Hampir-hampir dua orang terbaik binasa Abu Bakar dan ‘Umar, manakala dating kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam utusan bani Tamim, salah seorang dari keduanya menasihatkan supaya yang di angkat sebagai pemimpin kaummnya adalah Aqro’ bin Habis At-Tamimi Al-Handzoli saudara bani Mujasyi, yang satunya menasihatkan yang lain, maka Abu Bakar berkata kepada Umar kamu hanyalah ingin menyelisihimu, Umarpun menjawab: Aku tidaklah bermaksud menyelisihimu, kemudian keduanya mengangkat suara di sisi Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka turunlah ayat:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ } [الحجرات: 2] إلى قوله {عَظِيمٌ} [الحجرات: 3]
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara kalian melebihi suara Nabi” sampai ke firmannya (artinya): “pahala yang besar” [Al-Hujurat: 1-3].
Berkata Ibnu Mulaikah: Ibnu Zubair katakan: Akhirnya ‘Umar setelah peristiwa tadi –dan tidak menyebutkan hal itu dari bapaknya yaitu Abu Bakar- apabila berbicara dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam suatu pembicaraan ia berbicara seolah-olah membisikkan suatu rahasia, tidak memperdengarkannya sampai Rasulullah bertanya kepadanya)-selesai-.
Inilah dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sekaligus sahabatnya yang paling utama, suara keduanya mengeras di sisi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ibnu Abi Mulaikah berkata dan beliau termasuk ulama para tabi’in: hampir-hampir dua orang terbaik binasa, dan tidak mengunggulkan atau mengedepankan amalan-amalan baik dan fadhilah mereka yang mulia.
Telah lewat penukilan kalam Imam Syaukani rahimahullah ta’ala dari segenp kaum muslimin tentang batilnya timbangan miring ini! Di mana beliau berkata dalam kitabnya ‘Adab At-Tholab’ hal. 124: (Sesungguhnya Ahlul bida’ tidaklah mengingkari seluruh sunnah dan tidak pula memusuhi kitab-kitab yang memuat dan mengumpulkannya, akan tetapi tetap saja mereka berhak mendapatkan penamaan bid’ah di sisi segenap kaum muslimin di sebabkan mereka menyelisihi beberapa masalah syari’ah).
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitab ‘Syarh As-Sunnah’ 1/227: (Wajib bagi seorang muslim apabila melihat seseorang mendatangi hawa nafsu dan bid’ah dalam keadaan meyakininya, atau bergampang-gampang terhadap sesuatu dari sunnah: wajib ia memboikotnya dan berlepas diri darinya serta meninggalkannya dalam masa hidup dan matinya, tidak mengucapkan salam kepadanya kalau bertemu dan tidak memjawab salamnya, sampai ia meninggalkan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran).-selesai-
Seandainya mengedepankan sis sejarah hidup yang bagus dan keutamaan-keutaman itu yang menjadi landasan dalam menghukumi, dengan tidak menganggap kesalahan dan kekeliruan, niscaya keduanya (Imam Syaukani dan Imam Al-aghawi) tidak akan berkata demikian rahimahumallah. Karena pada asal orang yang keluar dari sunnah dan di vonis sebagai mubtadi’ tidaklah lepas atau jauh dari segi kutamaan dan sejarah hidup yang bagus, bahkan inilah asal pada para pembawa sunnah, namun manakala mereka terjatuh pada apa yang dengannya mereka keluar dari sunnah, merekapun di sifati dengan bid’ah! Dan tidaklah berguna bagi mereka timbangan Syaikh Muhammad Al-Imam –waffaqohullah-!
Dan ini adalah manhaj para pendahulu kita yang shalih, ucapan-ucapan mereka tertera, kitab-kitab mereka di hadapan kita memuat banyak ucapan-ucapan para imam islam dalam menghukumi sesat orang yang berhak di sifati bid’ah dari ahlus sunnah yang memiliki kebaikan-kebaikan dan sejarah bagus serta keutamaan yang banyak, dan tidak seorangpun di antara mereka yang berpendapat wajibnya timbangan batil ini, dan barangsiapa yang terjerumus pada perkara yang menjadi sebab dia menyimpang dari orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada sunnah dan layak dihukumi dengan bid’ah, bahwa mereka mencampakkan kesalahan-kesalahan itu dan menjadikan mayorita keadaan dan sejarah hidupnya yang baik sebagai landasan dalam menghukuminya…
Dengan timbangan miring ini mereka menggugurkan kitab-kitab jarh wat ta’dil serta jerih payah para imam ad-dien.
Imam Adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya ‘As-Siyar’ 12/478: (Ahmad bin Kamil Al-Qodhi berkata: Ya’qub bin Syaibah termasuk murid senior Ahmad bin Ma’dzil, dan Al-Haris bin Miskin, dia pandai dan mulia, namun dia tawaqquf dala masalah al-qur’an.
Kukatakan: dia mengambil pendapat tawaqquf dari Syaikhnya Ahmad tersebut, dan telah tawaqquf pula ‘Ali bin Al-Ja’ad, Mush’ab bin Zubair, Ishaq bin Abi Israil, dan beberapa orang selainnya, mereka di selisihi sekitar seribu imam bahkan seluruh ulama terdahulu dan yang datang setelah mereka berpendapat bahwa al-qur’an bukan makhluk dan mengkafirkan Jahmiyyah.
Kami memohon kepada Allah keselamatan dalam agama.
Abu Bakar Al-Marwazi berkata: Ya’qub bin Syaibah menampakkan sikap tawaqquf pada permasalahan Al-qur’an di Baghdad, maka Abu ‘Abdillah mentahdzir (memperingatkan ummat) darinya, Al-Mutawakkil memerintahkan ‘Abdurrahman bin Yahya bin Khaqon supaya menanyakan Ahmad bin Hanbal tentang orang-orang yang diberikan jabatan kehakiman.
‘Abdurrahman berkata: Maka aku bertanya kepadanya tentang Ya’qub bin Syaibah, maka beliau menjawab: dia adalah ahlul bid’ah, pengekor hawa nafsu.
Al-Khatib berkata: Ahmad menyifatinya demikian karena dia (Ya’qub) tawaqquf.