Rabu, 01 September 2010

BAHAYANYA SENJATA MAKAN TUAN

BAHAYANYA SENJATA MAKAN TUAN
OLEH: ABU ABDILLAH ADIB BIN AHMAD
Di Darul Hadits As-Salafiyyah – Dammaj

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد:
Serangan dan makar terus dilancarkan oleh musuh-musuh dakwah salafiyah, baik dari kalangan kuffar ataupun ahlul bid’ah terhadap markiz (pesantren) induk dakwah salafiyah. Baik serangan dan makar secara fisik ataupun non fisik. Tidaklah kita lupa apa yang terjadi pada Darul Hadits dari serangan secara fisik (peperangan) yang dilancarkan oleh Rofidhoh. Apa sebab yang membuat mereka tak bosan-bosannya untuk menyerang dan menghancurkan markiz salafiyah di Dammaj ini? Tidak ada sebab lain kecuali karena masyaikh (para guru) dan thullab (para santri) di markiz tersebut tetap di atas al-haq, berusaha terus untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak takut dengan celaan, omongan orang-orang siapa pun adanya. Ini adalah sunnatulloh yang telah Alloh tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang tetap berpegang teguh dengan al-haq dari zaman dahulu sampai sekarang, dari para Nabi sampai para pengikutnya sebagai cobaan bagi mereka.
Hal ini sebagaimana perkataan Waroqoh bin Naufal ketika dikabari oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam- tentang apa yang dilihatnya di gua Hiro’ awal turunnya wahyu kepadanya:
(نعم، لم يأت رجل بما جئت به إلا أوذي)
“Betul, tidaklah seseorang datang dengan membawa perkara seperti apa yang kau bawa, kecuali akan dimusuhi.” (Muttafaqun ‘alaih dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha)
Dan tidaklah yang ada di markiz Dammaj kecuali para pengikut Rosululloh- shollallohu alaihi wasallam- baik dari kalangan ulamanya dan thullab-nya.
(وإن العلماء ورثة الأنبياء)
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anha dan dishohihkan oleh Al-Albani rohimahulloh)
Tidak ketinggalan pula para ahlul bid’ah terutama dari hizbi baru Abdurrohman Al-Adani turut terjun dalam kemungkaran dan dosa untuk menghancurkan markiz Dammaj. Bahkan di antara mereka ketika terjadi serangan dari Rofidhoh terhadap markiz Dammaj, ada yang mendoakan kejelekan kepada markiz ini dan mengharapkan semoga Rofidhoh menguasai markiz ini. Begitu pula makar dan syubhat ditujukan ke markiz ini. Cabang hizbi mereka pun di Indonesia turut andil meramaikan pasar kemungkaran dan dosa ini.
Luqmaniyyun (Luqman Baabduh dan para pengikutnya yang setia dalam kebatilannya) terus mengambil racun-racun dan syubhat-syubhat dari tuannya di Yaman dan Saudi(yang telah termakan syubhat dan hawa nafsu) untuk diolah dan dilemparkan kepada kalangan bawah salafiyin di Indonesia, yang mayoritasnya – dan ini sangat disayangkan- tidak pandai berbahasa Arab.
Tujuannya adalah untuk menghancurkan markiz Dammaj atau setidaknya merusak citra baiknya –menurut anggapan mereka-.
Mayoritas Luqmaniyyun tersebut adalah keluaran dari Dammaj. Mereka telah menimba ilmu darinya. Baik yang benar-benar belajar ataupun yang hanya sekedar mencari nama belaka, bahwa dia adalah alumni Dammaj yang dengannya dia dipanggil “Al-ustadz”. Apakah mereka sadar bahwa sebab mereka dibesar-besarkan dan di ustadzkan –setelah kehendak Alloh- adalah karena mereka menimba ilmu di Dammaj!! Ataukah mereka tidak sadar dengan apa yang mereka perbuat bahwa itu termasuk kedurhakaan dan tidak adanya rasa syukur terhadap apa yang didapat dari Dammaj. Tidaklah mereka takut dengan ancaman Alloh!!
)وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ( [إبراهيم : 7]
“Dan ingatlah juga tatkala Robb kalian mengumumkan: “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-ku sangat pedih.” (QS. Ibrohim: 7)
Setelah munculnya kitab “Al-Ibanah ‘an Kaifiyatit Ta’amul ma’al Khilaf Baina Ahlis Sunnah wal Jama’ah” yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Al-Imam-hadahulloh-, mereka sangat merasa gembira dan merasa mendapatkan senjata baru untuk menghantam markiz Dammaj.
Begitulah sifat-sifat ahlul bathil semenjak zaman dahulu sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya “Adabut Tholab wa Muntahal Arob”: “Telah berjalan dari zaman dahulu sampai sekarang kaidah-kaidah ahlul bid’ah bahwa mereka merasa gembira dengan munculnya satu kalimat dari seorang alim dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempopulerkan dan menyebarkannya di antara mereka, yang mereka jadikan sebagai hujjah bagi bid’ah yang mereka lakukan dan sebagai senjata untuk menghantam orang-orang yang mengingkari mereka…” (Adabut Tholab, hal. 116)
Mereka membangga-banggakan sebagai senjata ampuh untuk menghantam markiz Dammaj, bahkan mereka menjulukinya dengan sebuah ‘nuklir’. Padahal salafiyun di markiz Dammaj tidaklah menganggap itu kecuali hanya seperti petasan saja. Atau iklan mereka yang dibesar-besarkan itu hanya sebatas iklan seperti iklannya penjual bakso yang menulis di warungnya dengan huruf besar “BAKSO NUKLIR.”
Apakah mereka tidak membaca apa yang tertulis dalam kitab yang mereka bangga-banggakan tersebut pada halaman 42 yang penulis mengatakan: “Orang-orang yang mengharapkan matinya ahlus sunnah berarti mereka menginginkan untuk memadamkan cahaya Alloh.” ?!? Dan sudah diketahui dan diakui oleh ahlus sunnah di dunia –kecuali yang memiliki kedengkian dan permusuhan terhadap ahlus sunnah- markiz Dammaj adalah termasuk markiz induk salafiyah di dunia saat ini.
Dahulu sururiyun menghantam kalian (Luqmaniyyun) dengan tulisan yang mirip isinya dengan kitab “Al-Ibanah” yaitu risalah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah.” Apakah kalian lupa?
(ونسي آدم ونسيت ذريته)
“Lupalah Adam dan lupa pula keturunannya.” (potongan dari hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil rohimahulloh dalam Ash-Shohihul Musnad)
Kalian pun telah membantahnya dengan keras, dengan membawakan fatwa-fatwa ulama tentang salahnya kaidah-kaidah yang ada dalam tulisan tersebut yang menyimpang dari manhaj salaf. Sekarang kalian pakai senjata yang mirip dengan senjata hizbiyyin –dalam kondisi kalian telah tahu kesalahan yang ada padanya- untuk menyerang markiz induk salafiyah di Dammaj. Kalau begitu berarti kalian termasuk orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya semata!
)إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ( [النجم : 23]
“Tidaklah mereka itu mengikuti kecuali sangkaan-sangkaan belaka dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka.” (QS. An-Najm: 23)
)أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ( [الجاثية : 23]
“Maka kabarkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya dan Alloh membiarkan dia sesat berdasarkan ilmunya dan Alloh telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberikan petunjuk selain Alloh? Mengapa kalian tidak mau mengambil pelajaran?!” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dimanakah kalian dari apa yang ditulis dalam “Al-Ibanah,” hal. 25: “Bersamalah dengan al-haq di manapun berada dan terimalah baik al-haq itu mendukungmu sebagai hujjah ataupun menghantammu.”
Dan jika kalian sudah tidak tahu malu, maka lakukanlah apa yang kalian maui.
)إذا لم تستحي فاصنع ما شئت(
“Jika kalian tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kalian maui.” (HR. Bukhori dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhu)
Dan siap-siaplah kalian untuk dihantam dengan senjata kalian ini (senjata makan tuan) oleh sururiyun dan setiap kelompok yang mengaku ahlus sunnah dengan alasan kita masih sama-sama ahlus sunnah.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh kita Yahya Al-Hajuri hafidlohulloh ta’ala dalam komentar beliau terhadap kitab “Al-Ibanah” secara ringkas yang berjudul “Mujmalut Taqwim was Shiyanah lima Jama’ahu Syaikh Muhammad Al-Imam fi Kitabihi Al-Ibanah” (telah diterjemahkan oleh Akh Sulaiman Al-Amboni) bahwa kitab ini mirip dengan risalah “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah” oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad. Beliau (Syaikh Yahya) menyebutkan pula bahwa Syaikh An-Najmi rohimahulloh telah membantahnya dengan bantahan yang bagus dan jelas (dalam kitab Fatawa Jaliyyah: 1/220-235, cet. Darul Minhaj).
Karenanya –dengan izin Alloh- kami berusaha menerjemahkan risalah Syaikh An-Najmi tersebut secara ringkas dengan mengambil poin-poin pentingnya sebagai pelajaran buat kita bersama agar tidak mengambil suatu kesalahan yang sama sebagai hujjah dikarenakan hal itu sesuai dengan hawa nafsu kita. Dan apa-apa yang ditulis Syaikh An-Najmi tersebut cocok pula diterapkan terhadap kitab “Al-Ibanah”.
Syaikh An-Najmi memulai pembahasan dalam risalahnya bahwa beliau pernah berkata: “Tidaklah orang yang menyebarkan risalah “Rifqon…” kecuali mubtadi’.” Kemudian beliau menjelaskan bahwa perkataannya ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk pembid’ahan terhadap Syaikh Abdul Muhsin. Bahkan beliau masih tetap menghormatinya dan menganggapnya sebagai ahlus sunnah. Hanya saja “Rifqon” tersebut merupakan suatu bentuk pengrusakan dan pencemaran terhadap as-sunnah. Begitu pula ketika Syaikh Yahya hafidlohulloh ditanya oleh salah seorang murid beliau (Abul Fath Ar-Roimi), beliau menjawab bahwa “Al-Ibanah” lanyaknya ditempatkan di rak kitab-kitab dholal (sesat). Begitu pula di ta’lim umum beliau menganjurkan untuk memasukkan kitab ini termasuk kitab-kitab yang ditahdzir oleh para ulama. Tidaklah dimaksudkan dengannya untuk membid’ahkan Syaikh Al-Imam, bahkan beliau masih berbaik sangka terhadapnya.
Beberapa poin yang dijelaskan Syaikh An-Najmi tentang risalah “Rifqon” diantaranya:
Poin pertama: Yang Nampak jelas dari risalah tersebut adalah menghalangi salafiyun untuk berbicara tentang keadaan ahlul bid’ah dan menghalangi untuk mengkritik mereka.
Poin kedua: Menyalahkan dan mencela salafiyin yang berbicara tentang kondisi ahlul bid’ah.
Poin ketiga: Menjadikan perkara bayan dan penjelasan tentang kondisi ahlul bid’ah yang tadinya merupakan salah satu dari sebesar-besarnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Alloh, sebagai bagian dari sebesar-besarnya dosa. Padahal Imam Ahmad rohimahulloh ketika dikatakan kepada beliau: “Seseorang sholat, puasa dan membaca Qur’an, sedangkan yang lain berbicara dan menjelaskan kondisi ahlul bid’ah?” Beliau berkata: “Orang yang sholat, puasa dan membaca Qur’an, manfaatnya kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan orang yang berbicara dan menjelskan kondisi ahlul bid’ah, manfaatnya dirasakan oleh manusia secara umum yaitu dengan mentahdzir mereka ahlul bid’ah.”
Poin keempat: Ahlul bid’ah mengambil kesempatan dari sikap penulisnya yang ada dalam risalah dan menjadikannya sebagai tameng mereka. Mereka mencetaknya dalam jumlah besar sampai ribuan eksemplar.
Kami katakan pula (penulis): Begitu pula “Al-Ibanah” dicetak ribuan dan dibagi-bagi secara gratis. Ini sangat aneh, kami selama ini di Dammaj, setiap muncul malzamah-malzamah bantahan terhadap hizbiyyin, tidak ada yang dibagi-bagi secara gratis. Kita membelinya sendiri. Tetapi ketika muncul dan bisa dimanfaatkan untuk menghantam salafiyyin di Dammaj, mereka mencetaknya ribuan dengan cetakan yang ‘luks’ dan dibagi secara gratis. Apakah ada udang dibalik batu?!
Poin kelima: Penulis “Rifqon” telah mengganti sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk. Yaitu yang tadinya menolong dan membela salafiyyin, menjadi menolong dan membela ahlul bid’ah. Lihatlah siapa yang gembira dengan munculnya risalah tersebut dan siapa yang kecewa dengannya!? Tidaklah ragu lagi bahwa yang gembira adalah hizbiyyun, sedangkan yang kecewa adalah salafiyun.
Kami katakan (penulis): Kenyataan itu pula yang terjadi dengan munculnya “Al-Ibanah”. Yang senang adalah hizbiyyun dari hizbinya Abdurrohman Al-Adani. Baik itu yang di Yaman atau ‘cabangnya’ yang di Indonesia. Dan yang kecewa dan menyayangkannya adalah salafiyyun. Karena hal tersebut bisa membikin jelek dan merusak manhaj salaf. Begitu pula mencoreng nama penulis dan masyaikh yang memberikan mukadimah dan yang menyetujuinya. Saat ini kami telah mendapatkan kabar dari beberapa ikhwah, begitu pula dari Syaikh Yahya dalam ta’lim umum bahwa hizbiyyun seperti hizbi Abul Hasan dan musuh-musuh dakwah Syaikh Robi’ mulai menghantam masyaikh tersebut dengan “Al-Ibanah” itu sendiri. Mereka beralasan bagaimana kalian dahulu berbicara dan menghantam kami, padahal kami masih ahlus sunnah. Apa bedanya “Al-Ibanah” dengan risalah “As-Sirojul Wahhaj” milik Abul Hasan. Padahal isinya SAMA AJA… dan juga alasan yang lain yang bisa dijadikan bumerang bagi penulis dan pemberi mukadimah.
Poin keenam: Penulis “Rifqon”, dengan kitabnya ini telah merendahkan dirinya ketika dia menganggap bahwa berbicara dan menjelaskan tentang kondisi ahlul bid’ah adalah ghibah. Padahal telah dikatahui bahwa ghibah adalah mencela semata-semata celaan tanpa dimaksudkan dengannya sebagai bentuk pembelaan terhadap agama. Adapun jika dimaksudkan dengannya sebagai bentuk pembelaan terhadap agama, maka itu bukanlah ghibah. Mau tidak mau, kamu harus mengatakan bahwa fulan murji’ (penganut aliran sesat murji’ah) atau tertuduh dengan irja’ (aliran murji’ah), fulan mempunyai pemikiran khowarij, fulan qodari (penganut aliran sesat qodariyah) atau tertuduh dengan pemikian qodariyah dan seterusnya. Jika kamu mengatakan bahwa ini adalah ghibah dan ghibah itu haram, maka haram pula bagi kamu untuk mengghibahi orang dan memakan daging mereka. Jika kamu mengatakan ghibah boleh, jika dimaksudkan dengan sebagai bentuk pembelaan terhadap agama, maka kami katakan begitu pula boleh bagi kami untuk mengatakan bahwa si fulan mubtadi’, jika dimaksud sebagai tahdzir darinya. Jangan sampai bid’ahnya tersebar. Dan kami pun sependapat denganmu bahwa seseorang yang tidak dikenal dengan suatu bid’ah, tidak boleh untuk membicarakannya. Kemudian jika dia membikin suatu bid’ah dan telah dinasehati, tetapi tidak menerimanya, maka di-hajr (diboikot) dan ditinggalkan.
Poin ketujuh: Dalil-dalil tentang bolehnya ghibah jika dimaksudkan dengannya sebagai tahdziran sangatlah banyak baik itu dari Al-Kitab dan As-Sunnah maupun perkataan salaful ummah. Dari AL-Qur’an diantaranya:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ﴾ [التوبة/73]
“Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At-Taubah: 73)
Ini mencakup seluruh munafik baik nifaknya nifak i’tiqodi (yang mengeluarkan dari Islam) ataupun nifak amali (tidak mengeluarkan dari Islam). Dan di antara mereka adalah mubtadi’ (penganut kebid’ahan).
Adapun dalil dari as-sunnah, apa yang dikisahkan oleh ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwa ada seorang pemuda minta izin kepada Rosululloh dan ketika beliau melihatnya, beliau berkata:
( بئس أخو العشيرة وبئس ابن العشيرة ) الحديث (رواه البخاري عن عائشة)
“Dia itu sejelek-jelek saudara dan anak sekabilah.” (HR. Bukhori dari Aisyah)
Begitu pula hadits Fathimah binti Qois ketika Abu Amr bin Hafs menceraikannya, dia mendatangi Rosululloh untuk meminta fatwa bahwa Mu’awiyyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya. Maka berkatalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
)أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له أنكحي أسامة بن زيد( الحديث.
“Adapun Abu Jahm, dia suka memukul. Adapun Mu’awiyyah, dia itu miskin tidak punya harta. Nikailah Usamah bin Zaid.” (HR. Bukhori)
Semisalnya pula hadits Aisyah ketika Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan menemui Rosululloh dan berkata:
( يَا رَسُول اللَّه : إِنَّ أَبَا سُفْيَان رَجُل شَحِيح لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَة مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْت مِنْ مَاله بِغَيْرِ عِلْمه ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاح ؟ فَقَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خُذِي مِنْ مَاله بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيك وَيَكْفِي بَنِيك ) الحديث.
“Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang sangat kikir, tidak memberikan nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa-apa yang aku ambil dari hartanya tanpa dia ketahui. Apakah hal tersebut berdosa?” Rosululloh berkata: “Ambil dari hartanya dengan baik yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (HR. Muslim)
Perkataan salaful ummah, diantaranya:
Kisah Abdulloh bin Mughoffal ketika dia melihat seseorang melakukan “khodaf” (melempar burung atau yang lainnya dengan kerikil yang diletakkan di antara dua jari-ketepel). Kemudian dia melarangnya karena Rosululloh membencinya atau melarangnya. Kemudian dia melihat orang tersebut melakukan perbuatan itu lagi. Maka berkata Abdulloh kepadanya: “Aku kabarkan kepadamu bahwa Rosululloh membenci atau melarang “khodaf”, kemudian kamu melakukannya?! Aku tidak akan berbicara denganmu sampai waktu tertentu –(dalam riwayat Muslim seperti dalam Fathhul Bari: “selama-lamanya.”) (HR. Bukhori-Muslim)
Apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: “Ayolah kemari, kita mengghibah karena Alloh.”
Demikian pula apa yang diriwayatkan dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Dahulu Qotadah menganggap remeh dan menghinakan Amr bin Ubaid, maka aku berlutut dan aku katakan: “Wahai Abul Khotthob, ahli fiqh ini sebagian mereka membicarakan sebagian yang lainnya?” maka dia berkata: “Wahai Ahwal, seseorang membuat suatu bid’ah, kemudian dibicarakan dan dijelaskan kondisinya lebih baik daripada diam darinya.”
Berkata Abdulloh bin Ahmad kepada bapaknya: “Apa pendapat Ayah terhadap ashhabul hadits yang mereka mendatangi seorang syaikh dan kemungkinan syaikh ini murji’ atau syi’i (penganut syi’ah) atau terdapat padanya penyimpangan sunnah? Apakah boleh bagiku untuk diam darinya atau aku harus mentahdzirnya darinya?” Maka bapakku berkata: “Apabila dia menyeru kepada bid’ah dan dia imam mereka dalam kebid’ahan, maka kamu harus mentahdzirnya.”
Berkata Al-Hasan Al-Bashri rohimahulloh: “Tidak ada ghibah terhadap ahlul bid’ah.”
Berkata Ibnu Taimiyyah seperti tertera dalam Al-Fatawa (28/217): “Jika seseorang menampakkan kemungkaran wajib ingkar terhadapnya secara terang-terangan, ini tidaklah dianggap ghibah kepadanya dan wajib diberi hukuman secara terang-terangan dengan sesuatu yang dapat menahannya dari kemungkaran tersebut baik dengan hajr (boikot) atau yang lainnya.” Beliau pun berkata pula dalam kitabnya Dar’ut Ta’arudh Al-Aql wan Naql (1/254): “Termasuk metode salaf dan para imam bahwasanya mereka sangat memperhatikan makna-makna yang bernar dan dimaklumi secara syariat dan akal. Memperhatikan pula lafadh-lafadh syariah dan menggunakannya pada setiap kesempatan. Dan barangsiapa berkata dengan sesuatu yang mengandung makna batil menyelisihi kitab dan sunnah, mereka tolak dan membantahnya. Barangsiapa berkata dengan suatu lafadh mubtadi’ah mengandung makna al-haq dan batil, mereka menisbahkan hal tersebut kepada bid’ah juga. Dan mereka berkata: “Ini hanyalah melawan bid’ah dengan bid’ah dan membantah kebatilan dengan kebatilan.”
Poin kedelapan: Syaikh An-Najmi memberi kemungkinan bahwa penulis “Rifqon” tidaklah bermaksud untuk diam dari mubtadi’ dan tidak meminta siapa untuk diam dari mubtadi’. Hanya saja dia berkeinginan untuk meredakan sengitnya tuduhan-tuduhan yang terjadi di kalangan salafiyyin. Kemudian Syaikh An-Najmi berkomentar tentang kemungkinan ini, bahwa wajib baginya dan yang lainnya yang berbicara dalam perkara seperti ini untuk membedakan hukum antara salafiyyin dan hizbiyyin agar tergambar secara jelas hukum setiap jama’ah satu persatu. Apa lagi saat ini Al-Khowarij mengambil jalan politik at-tuqyah dan nifaq sebagai kebiasaan mereka.
Poin kesembilan: Penulis “Rifqon” berpendapat bahwa sikap ahlus sunnah wal jama’ah terhadap seorang alim yang berbuat kesalahan adalah memberikan udzur kepadanya, tidak membid’ahkannya dan tidak menghajrnya. Kemudian memberikan permisalan dengan tiga ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar yang mereka tersebut telah tergelincir pada penakwilan sebagian sifat-sifat Alloh. Syaikh An-Najmi berkomentar mengenai pendapat ini bahwa ahlus sunnah memandang bahwa manusia butuh mengambil faedah-faedah yang ada dalam kitab-kitab mereka selain hal-hal yang mereka tergelincir dalam bid’ah dan mentahdzir thullabul ilmi dari bid’ahnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ahlus sunnah memberikan udzur kepada mereka dalam hal-hal mereka tergelincir dalam penakwilan sifat-sifat Alloh dan melarang penisbatan bid’ah secara umum adalah tidak benar. Kemudian Syaikh An-Najmi menasehatkan agar mengikuti atsar-atsar salaf dan berjalan di atas manhaj salaf berkaitan dengan pentingnya tahdzir dan hajr ahlul bid’ah. Dan memberikan contoh dengan Imam Ahmad ketika beliau menghajr Husain bin Ali Al-Karobisi, melarang untuk mengambil ilmu darinya dan melarang untuk membaca kitab-kitabnya. Akibatnya dia (Al-Karobisi) ditinggalkan dan tidak ada satu pun yang mendatanginya walaupun dia punya ilmu yang banyak.
Adapun kesalahan yang terjadi dari seorang alim pada masalah cabang-cabang hukum yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya, maka hak ini diberikan udzur, tidak dibid’ahkan dan tidak dihajr. Sedangkan kesalahan yang pelakunya dibid’ahkan dan di hajr yaitu kesalahan dalam aqidah. Dan kami tidak mengetahui dari salaf yang memberikan terhadap bid’ah dalam aqidah.
Poin kesepuluh: Kririkan penulis “Rifqon” terhadap sebagian ahlus sunnah yang mencurahkan perhatiannya dalam masalah tahdzir dan hajr yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan –menurut anggapannya- dimana mereka menelaah dan membahas dalam karangan-karangan dan kaset-kaset yang apabila diketemukan kesalahan di dalamnya, mereka memperingatkan dari kesalahan tersebut.
Syaikh An-Najmi berkomentar atas kritikan ini bahwa hal tersebut merupakan kedudukan yang mulia dan bukanlah sesuatu yang patut untuk dicela. Dahulu para para penjaga atau pemelihara sunnah mempunyai kedudukan mulia di kalangan salaf. Begitu pula di kalangan para pemuda salaf, mereka mempunyai kecemburuan terhadap agama. Dan jika mereka menemui sesuatu yang menyelisihi sunnah di suatu karangan atau kaset, atau melihat seseorang dari kalangan ahlus sunnah berjalan bersama mubtadi’ setelah dinasehati, mereka akan mengingkarinya dan menasehatinya atau meminta sebagian masyaikh untuk menasehatinya. Apabila sudah dinasehati dan tidak menerima nasehat, mereka menghajrnya. Hal ini merupakan sifat yang mulia bukan suatu yang patut dicela.
Kami katakan (penulis): Mirip dengan yang ditulis oleh penulis “Rifqon”, apa yang ditulis oleh penulis “Al-Ibanah,” hal. 170 yang dia mengatakan: “Seseorang yang diakui dan dianggap dalam bidang jarh wat ta’dil pun ketika dia menjarh sebagian ahlus sunnah bisa menimbulkan fitnah hajr, perpecahan dan perkelahian. Bisa pula menyebabkan berkecamuknya peperangan di kalangan ahlus sunnah sendiri!! Maka apabila terjadi suatu hal dari perkara-perkara ini, perlu diketahui bahwa jarh bisa mengakibatkan fitnah. Dan wajib untuk melakukan cek ulang dalam metode jarh dan memperhatikan manfaat dan keburukan, hal-hal yang dapat melanggengkan persaudaraan, menjaga dakwah dan mengobati kesalahan-kesalahan. Tidaklah layak untuk terus-menerus di atas metode jarh yang nampak di dalamnya kerusakan.
Poin kesebelas: Pendapat penulis “Rifqon” bahwa merupakan suatu kesalahan, apabila seseorang menjarh dan mentahdzir orang lain disebabkan orang tersebut bekerja sama dengan salah satu yayasan dalam memberikan muhadhoroh atau bergabung dalam suatu perkumpulan atau klub yang mana yayasan ini dahulu Syaikh Ibnu Bazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin pun pernah memberikan muhadhoroh lewat telepon. Begitu pula pendapatnya tentang tidak perlunya menguji atau mengetes seseorang dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Syaikh An-Najmi berkaitan dengan pernyataan tersebut menjelaskan bahwa yayasan yang dimaksudkan adalah yayasan Ihyaut Turots di Kuwait yang dipimpin oleh Abdurrohman Abdul Kholiq. Orang ini memiliki catatan-catatan buruk diantaranya adalah perkataan dan celaannya terhadap salafiyin. Bahkan dari perkataan orang ini menunjukkan bahwasanya dia adalah takfiri yaitu perkataannya yang menganggap berbicara dan menjelaskan keadaan mubtadi’ termasuk dari pembatal keislaman. Ini adalah metodenya takfiriyin.
Kemudian muhadhoroh Syaikh Ibnu Bazz dan Ibnu Utsaimin di yayasan ini terjadi pada masa lampau dan bukan sebagai bentuk rekomendasi terhadapnya, karena kemungkinan kedua Syaikh tersebut memberikan muhadhoroh sebelum mengetahui apa yang ada di dalamnya.
Kami katakan: Semakna dengan itu yang tertulis di “Al-Ibanah”, hal. 37: “Tidaklah seseorang itu menjadi mubtadi’ disebabkan keberadaannya bersama suatu firqoh atau suatu hizb untuk amal duniawi dalam kondisi dia masih menciantai ahlus sunnah dan berkeyakinan dengan aqidahnya.”
Adapun pendapatnya bahwa pengujian dan pengetesan terhadap (mauqif) seseorang adalah bid’ah terbantah dengan perbuatan Nabi –shollallohu alaihi wasallam-yang beliau pernah mengetes seorang budak perempuan dan berkata:
( أَيْنَ اللَّه ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاء قَالَ : مَنْ أَنَا ؟ قَالَتْ : أَنْتَ رَسُول اللَّه قَالَ : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَة )
“Dimana Alloh?” Dia menjawab: “Di langit” Nabi bertanya: “Siapa aku?” Dia menjawab: “Anda Rosululloh.” Lalu berkata Rosululloh: “Merdekakan dia karena dia seorang mukminah.” (HR Muslim dari Mu’awiyyah bin Hakam As-Sulami)
Sebagian salaf berkata: “Tanda-tanda ahlul bid’ah menampakkan permusuhan terhadap ahlul atsar.” Mereka berkata: “Jika kamu lihat orang dari Kufah menampakkan permusuhan terhadap Sufyan Ats-Tsauri, maka ketahuilah bahwa dia adalah Syi’i. dan apabila kamu melihat seseorang dari Maru menampakkan permusuhan terhadap Abdulloh bin Mubarok, maka ketahuilah bahwa dia adalah Jahmi.” Mereka berkata: “Barangsiapa yang menyembunyikan dari kita kebid’ahannya, maka tidaklah tersembunyi bagi kami persahabatannya yaitu diketahui bahwa dia adalah mubtadi’ dengan melihat dengan siapa dia bersahabat, karena dia tidak akan bersahabat kecuali dengan orang yang setuju dengan jalannya.”
Sebagai pelengkap, kami tambahkan pula di sini komentar dan kritikan Syaikh Yahya terhadap “Al-Ibanah” yang beliau sampaikan dalam ta’lim umum sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari kalangan salafiyyin di Yaman yang merasa aneh dan janggal dengan apa-apa yang terdapat dalam “Al-Ibanah.”
Pertanyaan pertama: “Berkaitan dengan apa yang ditulis dalam “Al-Ibanah” pada bab “Kapan seseorang itu menjadi sunni dan kapan dia keluar dari kesunniannya.” Disebutkan di akhir bab, bahwa seorang sunni tidaklah menjadi mubtadi’ disebabkan bermudah-mudahan dalam meninggalkan sunnah (“Al Ibanah,” hal. 37)
Komentar Syaikh Yahya: “Tidak begitu. Bermudah-mudahannya dia dalam meninggalkan sebagian sunnah dan menjauh darinya dapat menghantarkan dia untuk bersikeras dan berkecimpung dalam suatu bid’ah, dan menjadikan dia mubtadi’. Hal ini karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah berkata:
“ لكل عمل شرة ولكل شرة فترة فمن كانت فترته إلى سنتي فقد اهتدى ومن كانت فترته إلى غير ذلك فقد هلك”
“Setiap amalan ada masa semangatnya dan setiap semangat ada masa lesunya. Maka barangsiapa di masa lesunya berpaling ke sunnah, maka dia selamat. Dan barangsiapa yang di masa lesunya berpaling ke selain sunnah, maka dia binasa.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Amr dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil di Ash-Shohih Al-Musnad; 1/537).
Maknanya adalah bahwa seorang sunni jika imannya melemah sampai kepada penyelisihan terhadap sunnah dan terjatuh ke dalam bid’ah dengan sengaja,, walaupun pada sebagiannya dan telah dijelaskan kepadanya, tetapi dia tetap seperti itu, maka dia digolongkan dengan mubtadi’ah. Bahkan dia adalah mubtadi’.”
Pertanyaan kedua: “Tidaklah seseorang menjadi mubtadi’ disebabkan keberadaannya bersama suatu firqoh atau hizb untuk amal duniawi dalam kondisi dia masih mencintai ahlus sunnah dan berkeyakinan dengan aqidahnya.” (“Al-Ibanah, hal. 37)?
Komentar Syaikh Yahya: “Ini tidaklah benar. Barangsiapa yang duduk-duduk dengan seseorang, maka dia akan membuat seseorang itu sejenis dengannya.” Nabi bersabda:
« مثل الجليس الصالح والجليس السوء كمثل صاحب المسك ، وكير الحداد ، لا يعدمك من صاحب المسك إما تشتريه ، أو تجد ريحه ، وكير الحداد يحرق بدنك أو ثوبك أو تجد منه ريحا خبيثة » .
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, kemungkinan dia akan memberimu minyak wangi atau kamu membeli minyak wangi darinya atau kamu akan mencium bau harumnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Musa).
Pada asalnya duduk-duduk dan berteman merupakan sebab untuk mengambil suatu pemikiran (terpengaruh dengan pemikiran teman duduknya). Perhatikan perkataan Ibnu Abbas dalam atsar yang shohih darinya (yang maknanya):
لا تجالسوا أهل الأهواء فإن مجالستهم ممرضة
“Janganlah kalian duduk-duduk dengan ahlul ahwa’, karena duduk-duduk dengan mereka menyebabkan penyakit.”
Tidak ragu lagi, bahwa duduk-duduk dengan mereka merupakan sebab berpalingnya seseorang kepada apa yang ada pada mereka (bid’ah mereka).
Abu Qilabah Al-Jarmi berkata:
لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم ، فإني لا آمن أن يغمسوكم في الضلالة أو يلبسوا عليكم في الدين بعض ما لبس عليهم [الشريعة للآجري - (ج 5 / ص 261)]
“Janganlah kalian duduk-duduk dengan ahlul ahwa’. Saya takut bahwa mereka akan menjerumuskan kalian dalam bid’ah atau mengkaburkan agama kalian.” Atsar ini shohih.
Alloh Ta’ala berfirman:
)وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا( [الفرقان/27-29]
Maknanya: “Dan ingatlah hari ketika orang-orang dlolim menggigit jari sambil berkata: “Aduhai sekiranya dahulu aku mengambil jalan bersama-sama Rosululloh. Kecelakaan besar bagiku, seandainya aku dulu tidak mengambil si fulan sebagai teman akrabku. Sungguh dia telah menyesatku dari Quran ketika Quran itu telah datang kepadaku dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqon: 27-29)
Apakah tidak kamu perhatikan bahwa orang ini meratap dan sangat sedih di hari kiamat dikarenakan duduk-duduknya dengan dia.
Wahai Syaikh Muhammad, apakah seperti ini layak sebagai ushul ahlus sunnah?! Di mana kita mendidik ikhwan kita untuk duduk-duduk dengan mereka (ahlul bid’ah) dan bahwasanya duduk-duduk dengan mereka tidak menjadikannya mubtadi’?!!! ini menyelisihi dalil-dalil yang telah dipaparkan. Justru sebaik-baik nasehat dan layak dijadikan sebagai ushul ahlus sunnah adalah tamayyuz (membedakan dan memisahkan diri dari ahlul bid’ah), seperti yang dikatakan oleh sang pemberani (yakni Syaikh Muqbil rohimahulloh): “Dakwah kita tertolong disebabkan oleh sikap tamayyuz.”
Dakwah ahlus sunnah dan kekuatannya akan semakin kuat dan merasa cukup dengan al-haq, apabila mereka membedakan dan memisahkan diri dari yang lainnya dari para ahlul ahwa’. Dalilnya sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
)وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا( [الكهف/28]
Maknanya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Robb mereka di pagi dan petang hari dengan mengharap ridho-Nya. Dan janganlah kamu palingkan mukamu dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini dan janganlah mengikuti orang-orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Pertanyaan ketiga: Berkata penulis Ibanah: “Seseorang tidaklah menjadi mubtadi’ dan tidak menjadi hizbi karena dia menolong syaikh dari masyayikh ahlus sunnah.” (hal. 37)?
Komentar Syaikh Yahya: “Bagaimana ini?! Apakah orang yang menolong ahlus sunnah menjadi hizbi?! Bahkan ini menunjukkan mantap dan kuatnya dia dalam sunnah. Yaitu orang yang menolong dan membela ahlus sunnah baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dengan haq bukan dengan ‘ashobiyah (fanatisme sempit) dan bukan dengan taqlid buta. Demi Alloh, ini adalah keunggulan salaf. Adapun seseorang menjadi hizbi, apabila dia condong dan membela hizbiyyin, ta’ashub kepada mereka dan mubtadi’ah. Imam Ahmad rohimahulloh berkata terhadap orang yang seperti ini (maknanya): “Dia bagian dari mereka.” Syaikh Muhammad dengan ini berkeinginan untuk membela si ‘Adani (Abdurrohman Al-‘Adani) dan Al-Wushobi (Syaikh Muhammad Al-Wushobi) dari hal-hal seperti ini. Kita berdo’a kepada Alloh, semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita dan kepadanya. Begitu pula dalam kitab ini terdapat penggambaran tentang para Imam Jarh wat Ta’dil yang disebutkan bahwa mereka berkata sesuatu tanpa mengecek dahulu kebenarannya dan memisalkan dengan kisahnya Ibnu Ma’in. (“Al-Ibanah: 272)
Kisah ini munqothi’ (terputus sanadnya, dikarenakan kita tidak tahu siapakah gurunya Al-Khothib yang menceritakan kepadanya kisah ini. Karena Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/165) pada biografi Humaid bin Ar-Robi’ Al-Khozzaz berkata: “Aku telah dikabari oleh seseorang kisah dari Abul Hasan bin Al-Farrot…-pent)
Kitab ini terdapat pula nukilan-nukilan tentang Asy’ariyah, perkataan-perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang Asy’ariyah yang dinukilkan dan dipraktekkan bagi ahlus sunnah dan bahwasanya itu terjadi di kalangan ahlus sunnah. Ini sungguh sesuatu yang aneh. (Golongan) Asy’ariyah telah diketahui kondisi dan penyimpangan-penyimpangannya terhadap ahlus sunnah dan mereka bukanlah dari ahlus sunnah. Ahlus sunnah pun telah membantah mereka dengan bukti-bukti. Berapa banyak penyimpangan mereka dalam masalah Al-Quran, sifat-sifat Alloh dan lain-lainnya. Hal ini perlu saya ingatkan, karena kitab ini dari awalnya menyebutkan bahwasanya berbicara dengan lisannya ahlus sunnah, bahwa kitab ini layak dipelajari dan … dan … dan seterusnya.”
Pertanyaan keempat: Tertulis di Ibanah “Walaupun pembelaannya tersebut sampai pada tingkat ta’ashub disebabkan kesalahan, maka hal itu dicela. Akan tetapi dia tidak menjadi hizbi.” (hal.37)
Komentar Syaikh Yahya: “Tidaklah seperti ini. Tidakkah para pengikut Hasan Al-Banna terkecualikan dari sisi ini. Mereka ta’ashub kepadanya dan menyebabkan mereka menjadi hizbiyyun. Terkadang ta’ashub bisa menghantarkan kepada hizbiyyah dan bisa pula ta’ashub dia menghantarkannya kepada kekafiran dan kebatilan dapat menghantarkan kepada kekafiran. Dan kita telah paparkan dalil-dalil tentang ta’ashub Yahudi, setan, Fir’aun dan sejumlah dari kalangan musyrikin dalam risalah “Adhror Al-Hizbiyyah.” Alloh Ta’ala berfirman:
)وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آَلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ( [ص/6]
Maknanya: “Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka seraya berkata: “Pergilah kamu dan tetaplah menyembah sesembahan kalian. Sungguh ini benar-benar sesuatu yang dikehendaki.” (QS. Shod: 6)
Ini adalah ta’ashub. Jika begitu, banyak dari kalangan musyrikin binasa karena ta’ashub. Yang jelas, perkara ini merupakan perkara yang berbahaya. Saya tidak mengetahui kitab-kitab terdahulu dari para Imam Sunnah yang ditulis berkaitan dengan perselisihan di antara ahlus sunnah. Terkadang terjadi pula perselisihan di kalangan ahlus sunnah. Alloh berfirman:
)وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ( [الشورى/10]
Maknanya: “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya kembali kepada Alloh.” (Asy-Syuro: 10)
)فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ( [النساء/59]
Maknanya: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Al-Quran dan sunnah Rosul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Akan tetapi mereka (para imam ahlus sunnah) menulis tulisan yang berkaitan tentang perselisihan mereka dengan para penyelisih sunnah (ahlul bid’ah dan lain-lain). Di sana pun terdapat nasehat-nasehat kepada ahlus sunnah, bantahan dari ahlus sunnah terhadap ahlus sunnah yang lainnya yang berkaitan dengan suatu kesalahan. Adapun tulisan khusus–wallohu a’lam- saya tidak tahu, kecuali apa yang telah ditulis oleh Syaikh Al-Utsaimin dan di dalamnya terdapat sebagian masalah semisal dengan itu yang telah dikritik.”
Pertanyaan kelima:Termaktub di Ibanah “Mayoritas jarh (kritikan) dari seorang yunior terhadap seorang alim senior tidak diterima.” (hal. 194)
Komentar Syaikh Yahya: “Apakah ini berasal dari Quran atau Sunnah? Dari manakah ini?! Alloh Ta’ala berfirman:
)فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ( [الحجر/94]
Maknanya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu.” (Al-Hijr: 94)
)أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ( [الحديد/16]
Maknanya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Alloh dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka.” (Al-Hadid: 16)
Wajib untuk menerima al-haq. Dahulu salaf menerima al-haq dari yang terkecil umurnya pada suatu kaum. Buktinya adalah kisah Ibnu Abbas berkaitan dengan ayat:
)إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا( [النصر/1، 2]
Dimana setiap orang yang hadir pada saat itu berkata sesuai dengan pemikirannya tentang tafsir ayat tersebut. Kemudian berkatalah Ibnu Abbas dengan perkataan yang benar dan tepat tentang tafsir ayat tersebut bahwasanya itu adalah ajalnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka berkatalah (Umar): “Tidaklah aku berpendapat, kecuali dengan apa yang kamu katakan.” (HR. Bukhori dari Ibnu Abbas)
Ini dalam masalah ilmu. Begitu pula dalam masalah jarh dan yang lainnya. Timbangannya adalah al-haq. Tidak boleh menolak al-haq, baik itu muncul dari seorang yunior ataupun senior. Adapun apabila timbangannya adalah bahwa seorang senior itu perkataannya adalah yang benar dan perkataan yunior itu salah, tidak ragu lagi bahwa ini bukan dari Al-Quran dan bukan pula dari As-Sunnah. Hal tersebut mengandung pembatalan terjadap suatu kebaikan, ilmu dan pura-pura untuk tidak tahu tentang hakekat sesuatu. Perkataan ini salah. Seperti Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya dari para imam yang telah disebutkan dalam suatu risalah, mereka menjadi ahlul fatwa, menjadi imam-imam jarh wat ta’dil dalam kondisi umur mereka tidak lebih dari tiga puluh atau empat puluh tahun. Apakah kita akan mengatakan bahwa perkataan-perkataan mereka tidak diterima jika menyelisihi yang lainnya? Al-haq wajib untuk diikuti dari siapa pun yang membawanya dan kebatilan itu wajib untuk ditinggalkan dari siapa pun yang membawanya.
Begitu pula kisah Abu Musa, ketika dia minta izin masuk kepada Umar sebanyak tiga kali dan tidak ada jawaban, kemudian dia pergi. Berkatalah Umar: “Ada apa denganmu?” Abu Musa menjawab: “Sunnah Rosul bahwa meminta izin itu sebanyak tiga kali dan jika tidak ada jawaban, maka kembalilah.” Umar berkata: “Datangkan kepadaku buktinya!” Kemudian Abu Musa mendatangi para shohabat di majelis mereka dan meminta dari mereka seorang yang bersaksi untuknya tentang hadits ini. Mereka menjawab: “Demi Alloh, tidaklah yang akan pergi bersamamu, kecuali yang paling kecil di antara kami.” Maka pergilah dia dengan Abu Sa’id Al-Khudri ke Umar dan mengabarkannya, (muttafaqun ‘alaih). Kisah seperti sangatlah banyak.” (Selesailah nukilan kalam Syaikh Yahya hafidzohulloh)
Kami katakan: Pada kenyataannya, kaidah tersebut pun tidak dipraktekkan. Sebagaimana dikisahkan oleh Syaikh Yahya dalam ta’lim umum, apabila datang sebuah risalah kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobi dari seorang tholib (santri) yang menjelaskan tentang fitnah hizbiyyahnya Abdurrohman Al-Adani, maka ditolaknya seraya berkata: “Kamu hanyalah sekedar seorang santri.” Akan tetapi jika yang datang kepadanya sebuah risalah dari orang lain yang kemungkinan memakai nama samaran dan berisi celaan terhadap Syaikh Yahya dan Markiz Salafiyyah Dammaj, maka diterimanya seraya berkata: “Masya Alloh, ini adalah risalah yang bagus!”
Perlu kami sampaikan kabar gembira pula, bahwa sebagian mustafid dari thullab (para santri) Darul Hadits Dammaj saat ini sedang menulis bantahan terhadap kaidah-kaidah yang menyimpang dari manhaj salaf yang terdapat dalam “Al-Ibanah.” Semoga Alloh menolong mereka dalam penyelesaian risalah tersebut. Insya Alloh akan kami (para ikhwan) terjemahkan risalah tersebut sebagai nasehat dan peringatan untuk para salafiyyin di Indonesia agar tidak selalu dibodoh-bodohi oleh sebagian asatidz yang hanya sekedar mengikuti hawa nafsunya. Wallohul muwaffiq.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لاإله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك.